Menjaga sektor riil dan sektor keuangan dari dampak krisis sangatlah penting. Dari kondisi makroekonomi, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mengurangi aktivitas masyarakat guna menurunkan tingkat penularan COVID-19. PSBB ini berakibat pada penurunan aktivitas ekonomi dari sisi konsumsi (sisi demand) sehingga berdampak pada penurunan produksi barang (sisi supply). Meskipun telah ada UU Nomor 2 Tahun 2020 dalam upaya penanganan permasalahan sektor keuangan, perekonomian Indonesia mengalami kontraksi cukup dalam dengan prospek pemulihan masih dibayangi oleh ancaman penyebaran COVID-19. Pelemahan perekonomian yang masih terus terjadi dan masih tingginya ketidakpastian pada perekonomian yang disebabkan oleh COVID-19 dan dampaknya, telah menimbulkan risiko yang sangat tinggi bagi sektor keuangan. Jika hal ini tidak ditangani secara antisipatif dan efektif, eskalasi permasalahan tersebut dapat menyebabkan memburuknya kondisi perbankan secara cepat. Untuk itu, guna memitigasi risiko memburuknya kondisi perbankan yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan dan berdampak pada memburuknya perekonomian, diperlukan upaya yang sangat luar biasa (very extraordinary policy measure) yang ditempuh. Dengan demikian, tidak cukup kiranya jika penanganan krisis ekonomi terkait dengan sektor perbankan akibat pandemi COVID-19 ini hanya diatur oleh undang-undang yang bersifat sektoral, tetapi harus dituangkan dalam bentuk undang-undang khusus, yang mengatur hal- hal yang lebih komprehensif terkait reformasi, pengembangan, dan penguatan sektor keuangan. Hal inilah yang melatarbelakangi RUU Reformasi, Pengembangan, dan Penguatan Sektor Keuangan akan didorong menjadi salah satu RUU usul inisiatif DPR RI, yang akan diinisiasi oleh Komisi XI DPR RI.