Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (“UU Nakeswan”) dibentuk untuk memberikan pengaturan terhadap penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan. Selanjutnya undang-undang ini kemudian diubah dengan Undang- Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (“UU Perubahan Nakeswan”). Pada implementasinya, UU Nakeswan memperoleh perhatian yang besar dari masyarakat, peternak, pengusaha, dokter hewan, dan masyarakat veteriner lainnya. Walaupun perlu diakui masih ada beberapa kekurangan dan bahkan terdapat pasal-pasal yang dirasakan oleh masyarakat merugikan hak konstitusionalnya, sehingga beberapa pasal-pasalnya di dalam UU Nakeswan diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan hasilnya beberapa pasal disetujui dan dikabulkan permohonannya, namun ada pula yang tidak disetujui. Di antaranya adalah Putusan MK Nomor 129/PUU-XIII/2015, yang mengabulkan sebagian permohonan para pemohon. Pasal 36E (1) UU Perubahan Nakeswan oleh MK dinyatakan “bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana pertimbangan Mahkamah”. Dalam perkembangannya, terdapat beberapa permasalahan lain terkait UU Naskeswan yaitu: a. lingkup pengaturan di dalam UU Nakeswan dirasakan masih fokus terhadap jenis ternak tertentu yaitu sapi, tetapi disisi lain lingkup materi pengaturannya masih “kurang komprehensif mengatur”; b. gugatan pada WTO yang memberikan sanksi pada Indonesia, akibat sebagian pengaturan di dalam UU Nakeswan dan beberapa UU lainnya yang tidak sesuai dengan ketentuan WTO, yaitu membatasi pemasukan hewan dan produk hewan dari peserta WTO untuk masuk ke Indonesia; c. ketentuan Pasal 36B ayat (2) UU Perubahan Nakeswan menyatakan pemasukan ternak dari luar negeri ke dalam wilayah NKRI harus berupa “bakalan”. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberdayakan peternak di dalam negeri, sekaligus juga melindungi kegiatan peternakan di dalam negeri, tetapi disisi lain “diduga” masih terdapat kegiatan pemasukan ternak siap potong dari luar negeri. Hal ini tentulah kontradiktif dengan maksud dan tujuan pengaturan mengenai keharusan pemasukan bakalan ternak dari luar negeri di dalam UU Perubahan Nakeswan. Ini terjadi karena tidak tegasnya UU Perubahan Nakeswan dalam mengatur larangan dan sanksi bagi kegiatan pemasukan ternak siap potong dari luar negeri; d. masih kurang sinkronnya pengaturan terkait dengan “kewenangan” dalam penyelenggaraan Nakeswan di UU Nakeswan dengan UU Pemerintahan Daerah. Dengan adanya perkembangan kebutuhan hukum dan menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka perlu dilakukan penyempurnaan dan perubahan terhadap UU Nakeswan. Selain itu, perubahan undang- undang akibat putusan MK merupakan RUU yang masuk dalam daftar kumulatif terbuka, sehingga harus segera ditindaklanjuti dengan melakukan perubahan atau penggantian.