Partisipasi Masyarakat dalam
Perancangan Undang-Undang (SIMAS PUU)

Kembali
RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
Tim Penyusun
Tidak ada data tim
Tahapan
Rencana Penyusunan RUU
Tanggal
13 Dec 2021
Deskripsi

Suatu konsekuensi logis bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum adalah terjaminnya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan UUD Tahun 1945. Amandemen UUD Tahun 1945 telah membawa angin perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia terutama dalam hal pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut konstruksi kekuasaan kehakiman tidak lagi menjadi otoritas Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) dan badan peradilan dibawahnya, tetapi juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Disamping perubahan yang bersifat krusial tersebut, amandemen UUD Tahun 1945 juga mengintroduksi pula suatu lembaga negara baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang disebut Komisi Yudisial (KY). Pembentukan KY merupakan salah satu wujud nyata dan perlunya keseimbangan dan kontrol diantara lembaga-lembaga negara. Pembentukan KY merupakan penegasan terhadap prinsip negara hukum dan perlunya perlindungan hak asasi yang telah dijamin konstitusi. Selain itu pembentukan KY dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian problem yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan yang sebelumnya tidak ditentukan. Dalam konteks dunia, keberadaan KY merupakan salah satu hasil perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Pengaturan mengenai KY diatur secara khusus melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY). UU KY muncul sebagai pelaksanaan amanah konstitusi yakni Pasal 24B UUD Tahun 1945 pasca amandemen yang mengatur mengenai Komisi Yudisial. Namun, dalam perkembangannya ada beberapa pengaturan pasal di dalam UU KY yang dinilai bertentangan dengan semangat Pasal 24B UUD Tahun 1945, khususnya terkait dengan independensi atau kemerdekaan KY dalam proses rekrutmen calon hakim agung dan calon anggota KY. Terhadap beberapa pasal tersebut akhirnya dilakukan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun beberapa pasal di dalam UU KY yang dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945 tersebut diajukan oleh para Pemohon yang merupakan para calon hakim agung dan calon anggota KY yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan dalam proses rekrutmen calon hakim agung dan calon anggota KY. Beberapa Pasal yang diuji materiil kan antara lain Pasal 18 ayat (4), Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY. Pasal 18 ayat (4) UU KY yang merupakan pengaturan terkait proses rekrutmen calon hakim agung, diajukan permohonan uji materiilnya pada tahun 2013 dengan nomor perkara 27/PUU-XI/2013. Sedangkan Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY yang merupakan pengaturan mengenai proses rekrutmen calon anggota KY, diajukan permohonan uji materiilnya pada tahun 2014 dengan nomor perkara 16/PUU-XII/2014. Dalam perkara nomor 27/PUU-XI/2013, para Pemohon mengajukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 18 ayat (4) UU KY yang pada intinya mengatur ketentuan yang mengharuskan KY mengajukan 3 (tiga) nama calon hakim agung kepada DPR untuk setiap lowongan hakim agung, yang dianggap para Pemohon telah bertentangan dengan Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD Tahun 1945. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi. maka perlu diadakannya perubahan kedua dari UU tentang KY. Beberapa perihal yang perlu diperhatikan dalam perubahan tersebut diantaranya, pertama, peranan mengangkut advokasi hakim. Selama bulan Januari sampai dengan November tahun 2017 telah dilaporkan 15 kali permohonan advokasi hakim. dan pada tahun 2018 dilaporkan tekanan saat bertugas oleh 11 hakim. Pada tahun 2017 dilaporkan terjadi perusakan sarana dan prasarana Pengadilan Negeri Medan oleh kerabat keluarga korban pembunuhan yang mengamuk setelah mendengar putusan hakin dalam perkara praperadilan. Pada tahun 2018, tekanan saat bertugas yang dilaporkan adalah intimidasi saat persidangan, mengganggu pelaksanaan eksekusi, dan ancaman terhadap keamanan. Untuk mencegah hal-hal serupa, Komisi Yudisial telah melaksanakan pemantauan sidang yang berdasarkan permintaan dan inisiatif sendiri yang pada tahun 2017 sebanyak 168 pemantauan dan pada tahun 2018 sebanyak 278 permohonan. Namun jumlah- jumlah tersebut masih lebih sedikit dari jumlah permohonan pemantauan yang masuk, yaitu 327 permohonan pada tahun 2017 dan 517 permohonan pada tahun 2018. Peran advokasi hakim dan pemantauan sidang oleh Komisi Yudisial dalam persidangan sangat penting untuk menjaga independensi para hakim. Namun menurut Ketua Komisi Yudisial, Jaja Ahmad Jayus, peranan Komisi Yudisial menyangkut advokasi hakim masih mengalami kendala yang timbul karena pemberlakuan UU No. 18 Tahun 2011. Kendala tersebut disebabkan karena tidak disebutkannya pengaturan mengenai advokasi hakim dalam UU No. 18 Tahun 2011. Tidak dijelaskan lebih lenjut tentang pelaksanaan advokasi hakim yang menjelaskan tindakan yang memerlukan advokasi hakim, tata cara, dan ketentuan lainnya. Kedua, adanya kendala dalam penjatuhan sanksi terhadap hakim. Pemberian sanksi diatur ketentuannya dalam Pasal 22D UU No. 18 Tahun 2011. Mahkamah Agung memiliki peran untuk mengeksekusi sanksi yang telah ditentukan oleh Komisi Yudisial paling lama 60 hari sejak tanggal usulan diterima. Namun pada pelaksanaannya, Mahkamah Agung tidak melaksanakan sebagian usul-usul penjatuhan sanksi yang diberikan oleh Komisi Yudisial. Dalam kurun tanggal 2 Januari sampai dengan tanggal 23 Desember 2019, Komisi Yudisial mengumumkan 130 rekomendasi sanksi hakim pada Mahkamah Agung, namun hanya 10 usulan sanksi yang ditindaklanjuti. Ketiga, mengenai kewenangan Komisi Yudisial untuk melakukan penyadapan dalam tugasnya menyelidiki penyelewengan hakim. Komisi Yudisial diperbolehkan untuk melakukan penyadapan dalam hal dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (3) UU No. 18 Tahun 2011. Disebutkan bahwa Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan. Namun, permintaan penyadapan terhambat karena adanya ketentuan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU tentang ITE).