Layanan Teratas

Berbagai Layanan dari Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI

SIMAS PUU

Selengkapnya

Info Legislasi

Selengkapnya

Alur Penyusunan RUU

Selengkapnya

Zona Integritas

Selengkapnya

PRODUK PUSAT PERANCANGAN UU

Dapatkan Informasi Terbaru Produk Pusat Perancangan UU

Update: 04 Desember 2024

Prodigy Jurnal Perundang-undangan Vol. 9 No. 1, Juli 2021

Penulis
Reny Amir
Abstrak
Mekanisme pembentukan undang-undang harus dilakukan secara transparan agar masyarakat dapat berpartisipasi memberikan masukan dalam suatu permasalahan. Salah satu fungsi DPR RI yaitu fungsi legislasi, membentuk UU. Materi muatan UU yang ditujukan bagi kepentingan masyarakat luas tentu harus membuka masuknya aspirasi masyarakat agar menghasilkan suatu UU yang demokratis, aspiratif, dan partisipatif. Setjen DPR RI sebagai supporting system berfungsi memberikan dukungan pelaksanaan tugas DPR RI dalam menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 72 huruf g UU tentang MD3. Penulisan ini mengangkat permasalahan bagaimana penyerapan aspirasi atau partisipasi masyarakat dalam bidang legislasi di DPR RI dan bagaimana upaya Setjen DPR RI sebagai supporting system mendukung DPR RI melaksanakan tugas menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 72 huruf g UU tentang MD3. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui penyerapan aspirasi atau partisipasi masyarakat dalam bidang legislasi di DPR RI dan upaya Setjen DPR RI mendukung DPR RI melaksanakan tugas menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 72 huruf g UU tentang MD3. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Penyerapan aspirasi/partisipasi masyarakat dalam bidang legislasi di DPR RI dapat dilakukan pada tiga tahap pembentukan UU, yaitu pada tahap penyusunan, pembahasan, dan tahap pelaksanaan UU. Dukungan yang dilakukan Setjen DPR RI dalam pelaksanaan tugas DPR RI sesuai Pasal 72 huruf g UU tentang MD3 yaitu dengan mengoptimalkan layanan penyaluran delegasi masyarakat agar menjadi lebih efektif dan efisien dengan menghadirkan SILUGAS, yaitu program optimalisasi layanan penyaluran delegasi masyarakat berbasis elektronik. Kata kunci: aspirasi masyarakat, legislasi, Sekretariat Jenderal DPR RI

Penulis
Muhammad Hasbi
Abstrak
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada saat ini masih dipergunakan untuk menangani semua persoalan hukum di dunia siber. Perkembangan dunia informasi melalui internet semakin hari semakin canggih termasuk potensi bahaya yang ditimbulkan. Salah satu bahaya yang perlu diwaspadai yakni mengenai adanya potensi terorisme siber. Terkait dengan permasalahan tersebut, tulisan ini menganalisis kegunaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam menangani terorisme siber. Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dalam pembahasan akan diketahui bahwa ternyata begitu luas tantangan ke depan dalam dunia siber ini. Adapun mengenai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebetulnya sudah terdapat sejumlah norma yang dapat digunakan untuk manangani terorisme siber. Hal yang lebih baik adalah bahkan dibentuk undang-undang khusus untuk itu. Pada akhinya disimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk saat ini dengan sejumlah norma yang ada masih mampu untuk menangani terorisme siber. Saran dari tulisan ini yakni perlu ada penguatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk dapat lebih khusus menangani terorisme siber termasuk juga kalau dimungkinkan maka perlu dibentuk undang-undang khusus Kata kunci: terorisme siber, teknologi informasi, transaksi elektronik

Penulis
Imron Razali
Abstrak
Fraksi merupakan perpanjangan tangan partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat. Kondisi ini menjadi persoalan yang mengemuka hingga saat ini karena seharusnya Dewan Perwakilan Rakyat adalah wakil rakyat dan bukan wakil partai. Partai politik saat ini mendapatkan penilaian yang buruk hal ini berimbas juga ke penilaian lembaga Dewan Perwakilan Rakyat yang berisi partai poltik. Karena fraksi wajib ada di Dewan Perwakilan Rakyat maka perlu ada analisis bagaimana sebetulnya peran fraksi selama ini di Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan analisis misalnya dalam hal legislasi fraksi memiliki peran memberikan usulan dalam penyusunan prolegna dan, menyampaikan pendpat mini pada akhir pembicaraan tingkat I pembahasan rancangan undanh-undang, Membahas fraksi memang tidak dapat dipisahkan dengan partai politik namun harus ada batasan yang tegas untuk kedepannya. Dapat dilakukan sebagai solusi yakni fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat tidak hanya disi oleh 1 partai saja namun dapat juga diisi oleh beberapa partai. Hal ini akan berdampak kepada lebih mudahnya pengambilan keputusan karena jumlah fraksi yang cenderung sedikit. Kata kunci: fraksi, peraturan perundang-undangan, Dewan Perwakilan Rakyat

Penulis
R.Muhamad Ibnu Mazjah
Abstrak
Tugas dan fungsi pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap perilaku dan kinerja jaksa dan/atau pegawai kejaksaan oleh Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) hakekatnya merupakan mandat peraturan perundang-undangan yang tak terpisahkan dengan tujuan dari sistem peradilan pidana terpadu yang bertumpu kepada cita hukum ideal berdasarkan asas negara hukum dan asas negara demokrasi. Meski demikian, di dalam praktik perangkat norma tentang pengawasan terhadap perilaku dan kinerja jaksa di dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 memuat aturan yang menimbulkan tafsir yang tidak koheren dengan cita hukum ideal dimaksud. Hal ini pada akhirnya berdampak terhadap efektivitas pelaksanaan tugas KKRI. Untuk itu, penelitian ini mengajukan sebuah konsep tentang dimensi perilaku dan kinerja sebagai suatu diskursus di dalam pengembanan tugas KKRI. Perilaku digambarkan sebagai reaksi atau respons yang timbul akibat interaksi seseorang dengan lingkungannya baik dalam konteks pelaksanaan tugas maupun di luar tugas. Perilaku memiliki tiga domain yakni kognitif, afektif, dan psikomotor yang membentuk pengetahuan, sikap dan tindakan seseorang dengan intensitas dan tingkatannya yang berbeda-beda. Adapun kinerja merupakan wujud nyata daripada perilaku dalam lingkup pelaksanaan tugas yang dibebankan atas dasar kecakapan, pengalaman, kesungguhan, dan tanggung jawab sesuai mekanisme hukum dan kode etik. Diskursus tentang dimensi perilaku dan kinerja ini disajikan dengan harapan memberi penguatan terhadap pengembanan tugas KKRI sebagai pelaksana fungsi penyeimbang atas pelaksanaan kewenangan negara oleh kejaksaan, sehingga tercipta suatu proses penegakan hukum yang menjunjung tinggi etika, kebenaran, dan hak asasi manusia. Penulisan ilmiah ini menggunakan metode penelitian normatif guna memberikan gagasan yang bersifat preskriptif atau sesuatu yang bersifat seyogianya melalui pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual. Kata kunci : pengawasan, Komisi Kejaksaan, sistem peradilan pidana terpadu, perilaku, kinerja

Penulis
Muamar Syafrudin
Abstrak
Kekuasaan negara haruslah diawasi untuk itu lahir lembaga-lembaga pemerintahan yang memiliki fungsi penting dalam pemerintahan. Penyelenggaraan negara dan pemerintahan sebelum reformasi ditandai dengan praktik maladministrasi termasuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), sehingga mutlak diperlukan reformasi birokrasi pemerintah. Dalam rangka reformasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan di Indonesia, didirikan lembaga baru yang tidak pernah ada pada masa pemerintahan orde lama dan orde baru yang berkuasa sebelumnya. Salah satu lembaga baru adalah Ombudsman Republik Indonesia (ORI), sehingga dalam praktik ketatanegaraan Indonesia saat ini, terdapat 4 (empat) pilar kekuasaan yang berkedudukan setara, yaitu Eksekutif, Legislatif, Yudisial dan Lembaga Negara Khusus yang terdiri dari BPK, Ombudsman, Komnas HAM dan KPK. Dengan metode penelitian normatif dan pendekatan konseptual dengan menjadikan Ombudsman sebagai obyek penelitian didapat temuan bahwa BPK, Ombudsman, Komnas HAM dan KPK yang termasuk dalam lembaga negara khusus diposisikan sejajar dengan Legislatif, Eksekutif dan Yudisial. Walaupun pengaturannya hanya didasarkan pada undang-undang. Lembaga pemerintahan yang ada saat ini peran dan fungsinya masih terbatas karena keterbatasan pengaturan yang ada saat ini dalam undang-undang untuk itu perlu ada penguatan dalam tataran undang-undang agar lembaga-lembaga ini dapat lebih berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kata kunci: struktur ketatanegaraan, konstitusi, demokrasi, lembaga pemerintahan
Prodigy Jurnal Perundang-undangan Vol. 9 No. 2, Desember 2021

Penulis
Adhi Prasetyo Satriyo Wibowo
Abstrak
Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan upaya pemerintah dalam mendukung pengembangan Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dukungan ini menjadi sangat penting untuk mendorong perekonomian domestik dan meningkatkan daya saing Indonesia dalam perdagangan internasional. Tujuan dalam penulisan ini yaitu menganalisis hubungan UU tentang Ciptaker dengan pengembangan UMKM, dan implikasi terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tulisan ini disusun dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan metode melalui studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa UU tentang Ciptaker menjawab tujuh persoalan utama yang dihadapi pelaku usaha untuk pengembangan UMKM, meningkatkan nilai tambah ekonomi dan berdaya saing tinggi, serta meningkatkan wirausaha baru. Selain itu juga berimplikasi terhadap APBN yaitu adanya pengalokasian Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi UMKM. Meskipun menjadi beban APBN pada tahap awal DAK, potensi manfaat yang akan diperoleh bagi negara cukup besar meliputi tenaga kerja maupun produk domestik bruto dan ekspor. Kata kunci: uu tentang cipta kerja, usaha mikro kecil dan menengah, anggaran pendapatan dan belanja negara, dana alokasi khusus

Penulis
Yosa Jeremia Donovan
Abstrak
Corona Virus Deseases 2019 (Covid-19) telah mewabah di Indonesia yang menimbulkan terjadinya pandemi. Dalam menanggulangi wabah penyakit Covid-19 tersebut dilakukan pemberian vaksin terhadap masyarakat Indonesia secara masal. Vaksin ini dikembangkan untuk memberikan kekebalan di tubuh manusia, dengan tujuan mencegah semakin besarnya angka penularan Covid-19. Pemberian vaksin Covid-19 secara besar akan menghasilkan kepentingan ekonomi yang sangat besar juga. Adanya kepentingan ekonomi tersebut berpotensi menimbulkan perbuatan melawan hukum. Potensi masalah tersebut harus menjadi perhatian supaya kepentingan ekonomi tersebut tidak menyebabkan kerugian bagi masyarakat. Vaksin yang diberikan harus memenuhi syarat dan terdaftar pada Badan Pengawas Obat dan Makanan. Apabila terjadi perbuatan melawan hukum dalam pelaksanaan tindakan medis pemberian vaksin Covid-19 kepada masyarakat, hal tersebut masuk dalam ranah hukum perlindungan konsumen. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penulisan doktrinal (normatif). Pengaturan hukum perlindungan konsumen di Indonesia membutuhkan beberapa perubahan untuk mengakomodir perlindungan konsumen vaksin Covid-19. Dalam undang-undang perlindungan konsumen Indonesia perlu mengakomodasi beberapa aturan tambahan meliputi upaya hukum gugatan kelompok terhadap badan publik dan/atau negara, kewajiban produsen luar negeri memiliki perseroan perwakilan di Indonesia, dan upaya untuk meminta pertanggungjawaban hukum dari produsen yang berada di luar negeri. Kata kunci: hukum perlindungan konsumen, vaksin Covid-19, upaya hukum perlindungan konsumen

Penulis
Antoni Putra
Abstrak
Omnibus Law adalah metode dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang berkembang di negara dengan sistem common law. Di Indonesia, omnibus law telah diterapkan dalam menyusun empat peraturan perundang-undangan. Namun demikian dalam perkembangannya pendekatan omnibus law tersebut tidak hanya diterapkan dalam pembentukan undang-undang, tapi juga dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar adanya pendelegasian dari undang-undang. Hal itu menyebabkan kerumitan dalam melaksanakan undang-undang, sebab peraturan delegasi seharusnya tidak dapat digabungkan dengan peraturan delegasi lainnya karena dibentuk untuk menjalankan dan memperjelas pengaturan yang terdapat di peraturan yang memberikan delegasi. Oleh sebab itu, omnibus law seharusnya hanya diterapkan dalam membentuk undang-undang, bukan dalam pembentukan peraturan delegasi karena hal itu hanya akan menyebabkan kerumitan dalam memahami peraturan yang seharusnya dapat dipahami dengan mudah. Dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai problematika penerapan pendekatan omnibus law dalam penyusunan peraturan delegasi. Adapun metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode yuridis normatif melalui kajian terhadap hukum normatif. Kata Kunci: Omnibus Law, Undang-Undang, Peraturan Delegasi

Penulis
Afdhal Mahatta
Abstrak
Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang telah diundangkan sejak tahun 2006 memberikan pemahaman akan mendesaknya kebutuhan pelindungan terhadap saksi dan korban pada proses peradilan pidana. Kebutuhan ini dilandasi oleh kenyataan akan banyaknya kasus yang tidak dapat diungkap dan selesai disebabkan korban tidak bersedia memberikan kesaksian kepada penegak hukum akibat ancaman dari pihak tertentu. Namun, peraturan perundang-undangan yang ada ternyata belum memberikan cukup ruang bagi para stakeholders untuk menjalankan perannya dalam melakukan pelindungan kepada saksi dan korban kejahatan di Indonesia. Dalam implemetasinya, hal ini mengakibatkan hak-hak saksi dan korban terkesan masih sulit dijalankan dan direalisasikan dengan baik. Setelah dilakukan tinjauan lebih jauh mengenai hal ini, sulitnya implementasi tersebut bukan semata-mata karena ketidaktahuan dan ketidakmauan penegak hukum, akan tetapi karena adanya kekuranglengkapan dalam pengaturan mengenai saksi dan korban dalam peraturan perundang-undangan. Sulitnya implementasi serta kurang lengkapnya peraturan mengenai hal ini menjadi alasan yang cukup mempengaruhi kinerja kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang belum dapat menjalankan perannya dengan maksimal untuk pelindungan saksi dan korban di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian hukum doktrinal dan data sekunder maka tulisan ini memuat bahasan mengenai penguatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban demi terwujudnya kepastian dan jaminan yang kuat bagi saksi dan korban dalam proses peradilan pidana. Kata kunci: Penguatan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Pelindungan saksi dan korban pidana, Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan korban

Penulis
Panca Silvita
Abstrak
Aparatur Sipil Negara (ASN) Pegawai Negeri Sipil (PNS) memiliki peran penting dalam menentukan keberhasilan arah birokrasi Pemerintah. Bila akan menjadi pemimpin, tentu harus melewati jenjang kenaikan pangkat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Namun, masih terdapat kondisi yang memerlukan perlindungan dalam menata jenjang karier sebagai ASN PNS yang ingin menaikan pangkat ke jenjang yang lebih tinggi melalui kenaikan pangkat pilihan. Permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana pengaturan kenaikan pangkat pilihan pada ASN PNS berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan, serta bagaimana hubungan antara kenaikan pangkat pilihan dengan motivasi kerja pada ASN PNS. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan kenaikan pangkat pilihan pada ASN PNS berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan serta hubungan antara kenaikan pangkat pilihan dengan motivasi kerja pada ASN PNS. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Hasil analisis menunjukan bahwa tidak ada norma yang mengatur secara khusus mengenai kenaikan pangkat pilihan dalam UU tentang ASN. Namun, pengaturan kenaikan pangkat dalam Pasal 362 dan Pasal 363 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS (PP No. 11 Tahun 2017) menjadi ambigu karena kedua pasal tersebut membuka ruang interpretasi. Kesimpulan kajian menunjukan bahwa Peraturan Gubernur Nomor 42 Tahun 2017 tentang Izin Belajar, Ujian Kenaikan Pangkat Penyesuaian Ijazah dan Ujian Kenaikan Pangkat Peningkatan Pendidikan, dan Ujian Dinas (Pergub Provinsi DKI Jakarta No.42 Tahun 2017) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Gubernur Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 42 Tahun 2017 tentang Izin Belajar, Ujian Kenaikan Pangkat Penyesuaian Ijazah dan Ujian Kenaikan Pangkat Peningkatan Pendidikan, dan Ujian Dinas (Pergub Provinsi DKI Jakarta No.70 Tahun 2019) yang mengatur kenaikan pangkat pilihan dan telah terdapat harmonisasi pengaturan terkait kenaikan pilihan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mendasarinya. Hal ini memberikan ketenangan dalam bekerja karena telah terdapat kepastian hukum sehingga diharapkan memberikan motivasi agar dapat bekerja secara optimal. Kata kunci: kenaikan pangkat pilihan, ASN PNS, peraturan perundang-undangan
Info Agenda Terkini

Dapatkan Informasi Agenda dari Pusat Perancangan Undang-Undang

Workshop Seminar Diskusi / FGD Pengumpulan Data Uji Konsep Literatur Review Penulisan Laporan

Hari Ini

|

04 Des 2024

Tidak ada agenda hari ini

Polling

Seberapa bermanfaat data dan informasi yang disajikan dalam website ini?

Sampaikan kritik dan saran Anda.

Seberapa bermanfaat data dan informasi yang disajikan dalam website ini

Total Vote: 0

0%
Sangat Bermanfaat
0%
Cukup Bermanfaat
0%
Bermanfaat
0%
Kurang Bermanfaat