Produk Pusat Perancangan Undang-Undang

Prodigy Jurnal Perundang-undangan Vol. 8 No. 2, Desember 2020

Penulis
No Author
Abstrak
Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) yang telah menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia mengharuskan Pemerintah untuk segera mengambil sikap dalam mencegah penularan yang lebih luas di berbagai sektor, termasuk sektor pendidikan. Pemerintah mengambil kebijakan berupa pelaksanaan pembelajaran jarak jauh untuk dapat menyesuaikan dengan kondisi Covid-19 dan masih menerapkan pembelajaran jarak jauh pada tahun ajaran baru 2020/2021. Tulisan ini mengangkat permasalahan bagaimana pelaksanaan pembelajaran jarak jauh berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU tentang Sistem Pendidikan Nasional) serta bagaimana kendala implementasinya; dan bagaimana upaya pengaturan yang lebih spesifik terkait konsep penyelenggaraan pembelajaran jarak jauh agar dapat diterapkan kepada peserta didik secara optimal. Tujuan penulisan ini, yaitu untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran jarak jauh berdasarkan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional serta kendala implementasinya; dan untuk mengetahui upaya pengaturan yang lebih spesifik terkait konsep pembelajaran jarak jauh agar dapat diterapkan kepada peserta didik secara optimal. Metode penulisan yang digunakan dalam pembahasan adalah metode analisis yuridis normatif, yang menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, dan laporan panitia kerja pembelajaran jarak jauh Komisi X DPR RI. Berdasarkan pembahasan yang dilakukan, diperoleh simpulan bahwa beberapa hal yang menjadi kendala implementasi pembelajaran jarak jauh, yaitu kurangnya kesiapan sumber daya manusia (meliputi pendidik, peserta didik, dan orang tua peserta didik), penerapan kurikulum yang belum sesuai dengan kondisi pandemi Covid-19, dan keterbatasan sarana dan prasarana pendukung pembelajaran jarak jauh. Dengan demikian perlu upaya penyempurnaan konsep pembelajaran jarak jauh agar dapat diterapkan kepada peserta didik secara optimal. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membuat Peraturan Menteri mengenai pedoman penyelenggaraan pembelajaran jarak jauh atau dapat juga dengan memasukkan materi muatan mengenai pembelajaran jarak jauh melalui perubahan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Penulis
No Author
Abstrak
Wabah penyakit virus korona baru di akhir tahun 2019 (COVID-19) yang kini telah menjadi pandemi merupakan fenomena virus yang bertransmisi dari inang hewan ke manusia dan dapat disebut sebagai bagian dari cross-species hop yaitu a spillovere event. Hasil penelitian terhadap COVID-19 menunjukan bahwa virus korona ini memiliki 93.3% kemiripan dengan virus korona yang tejangkit di kelelawar yang merupakan satwa liar. Transmisi virus dari inang hewan ke manusia disebut zoonosis yang dapat terjadi baik karena konsumsi satwa liar maupun hilangnya habitat satwa liar akibat tindakan manusia sehingga satwa liar terpaksa harus tinggal dekat dengan manusia. Oleh karena itu, diperlukan penelitian terkait bagaimana pengaturan mengenai konsumsi satwa liar penyebab zoonosis yang sudah berlaku saat ini serta bagaimana pengaturan yang diperlukan dalam rangka pencegahan zoonosis penyebab munculnya penyakit infeksi emerging. Penelitian ini menggunakan metode analisis yuridis normatif dengan cara studi kepustakaan atau data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier. Berdasarkan hasil analisa ditemukan bahwa di Indonesia, berbagai pengaturan sektoral yang spesifik mengatur tentang wabah dan zoonosis belum ada yang mengatur secara spesifik larangan konsumsi satwa liar yang dapat menjadi inang patogen zoonosis. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu penambahan norma yang tegas melarang konsumsi satwa liar agar dengan adanya larangan konsumsi maka tidak akan ada permintaan terhadap satwa liar atau peralihan satwa liar dari habitat aslinya ke wilayah yang berdekatan dengan manusia.

Penulis
No Author
Abstrak
Lembaga suaka hidup dalam praktik hubungan antar bangsa dan dihormati sebagai suatu kebiasaan internasional khususnya di kawasan regional Amerika Latin. Suaka diplomatik diberikan oleh perwakilan asing kepada seseorang yang mencari perlindungan dari pemerintah negara tempat perwakilan asing tersebut berada. Pemerintah Ekuador mencabut suaka diplomatik terhadap Assange atas dasar Konvensi Havana 1928 dan Konvensi Caracas 1954 karena Assange dianggap telah mengintervensi urusan internal negara lain dan melanggar protokol kedutaan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah pencabutan tersebut dapat dibenarkan menurut Konvensi Havana 1928 dan Konvensi Caracas 1954 serta bagaimanakah pencabutan tersebut apabila dikaitkan dengan kasus-kasus internasional lainnya. Tulisan ini menggunakan metode penulisan yuridis normatif. Tindakan Ekuador yang mencabut suaka diplomatik terhadap Assange tidak dapat dibenarkan menurut Konvensi Havana 1928 dan Konvensi Caracas 1954 sebab tidak ada pengaturan dalam konvensi tersebut mengenai pencabutan suaka dan tidak ada pengaturan dalam konvensi itu bahwa pelanggaran terhadap tindakan mengintervensi urusan internal negara lain dan pelanggaran terhadap protokol kedutaan itu dapat berujung pada pencabutan suaka. Pencabutan suaka yang diikuti dengan masuknya aparat hukum Inggris ke Kedutaan Ekuador untuk menangkap Assange juga tidak dapat dibenarkan karena jelas mencederai keselamatan si pesuaka yang dilindungi dalam prinsip-prinsip suaka. Dalam praktik suaka, kasus Assange adalah kasus yang jarang terjadi dan mungkin menjadi kasus pertama yang mana negara yang tadinya melindungi ternyata berinisiatif untuk mencabut dan menyerahkan Assange untuk ditangkap oleh aparat negara peminta atau negara teritorial yang masuk ke dalam kedutaan. Ekuador seharusnya mengedepankan keselamatan Assange dan mencari jalan penyelesaian yang layak dengan menggunakan cara negosiasi ataupun jasa pihak ketiga yang netral.

Penulis
No Author
Abstrak
Hukum adalah instrumen atau perangkat yang bersifat progresif. Hal ini berarti hukum sebagai aturan bersifat fleksibel dan dinamis untuk mengikuti perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Salah satu bentuk perkembangan tersebut adalah pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi informasi dapat diterapkan pada proses penegakan hukum, salah satunya dalam penyelesaian perkara atau sengketa perdata. Perselisihan hubungan industrial sebagai bentuk sengketa perdata yang melibatkan pekerja dan pengusaha juga tidak terlepas dari pemanfaatan teknologi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yakni mekanisme bipartit dan tripartit. Dalam mekanisme tripartit, penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan melalui mediasi, konsiliasi, arbitrase, atau pengadilan hubungan industrial. Namun sayangnya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial belum memanfaatkan teknologi informasi dalam penyelesaian perselisihan terutama dalam mengadopsi adaptasi kebiasaan baru di masyarakat. Padahal selain untuk mengadopsi adaptasi kebiasaan baru di masyarakat, pemanfaatan teknologi informasi ini tidak lain adalah untuk memecahkan sejumlah kendala selama ini dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti biaya yang mahal serta keterbatasan jarak dan waktu. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pentingnya pemanfaatan teknologi dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, konsiliasi, arbitrase, maupun pengadilan hubungan industrial agar tercipta suatu mekanisme penyelesaian yang adil, cepat, murah, dan efektif serta menjamin kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa.

Penulis
No Author
Abstrak
Pada saat ini di Indonesia memiliki 3 lembaga penyelenggara pemilihan umum yakni Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum. Ketiga penyelenggara Pemilu ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Berdasarkan penyelenggaraan pemilihan umum serentak di tahun 2019 dan sebagai bentuk evaluasi kelembagaan dan efektifitas kewenangan penyelenggara pemilihan umum, maka perlu dilakukan perubahan desain penyelenggara pemilihan umum. Perubahan ini juga penting dalam rangka menyesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019. Oleh karenanya dalam tulisan ini terdapat permasalahan penulisan yakni mengenai bagaimana implikasi Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 terhadap kelembagaan penyelenggara Pemilu dan bagaimanakah desain ideal kelembagaan penyelenggara Pemilu pasca Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui implikasi Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 terhadap kelembagaan penyelenggara Pemilu dan desain ideal kelembagaan penyelenggara Pemilu pasca Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Metode penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif yakni penelitian secara kepustakaan dengan mempelajari Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Adapun hasil pembahasan dalam tulisan ini dapat diketahui bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 dapat menjadi dasar dalam pembenahan pengaturan kepemiluan ke depan karena memberikan sejumlah alternatif keserentakan yang dapat dipilih. Dengan berpedoman pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 maka dalam tulisan ini dapat disimpulkan bahwa dibutuhkan desain ideal kelembagaan penyelenggara pemilihan umum dengan menyesuaikan kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 untuk menghasilkan kelembagaan yang lebih ramping struktur kaya fungsi.
Prodigy Jurnal Perundang-undangan Vol. 8 No. 1, Juli 2020

Penulis
No Author
Abstrak
Pengaturan mengenai ibadah haji dengan menggunakan visa haji mujamalah terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah). Namun demikian dalam pelaksanaannya belum mampu menjamin hak jemaah haji sebagai konsumen jasa dari Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), khususnya dalam aspek pembinaan, pelayanan (transportasi, akomodasi, konsumsi, dan kesehatan), dan pelindungan terhadap jemaah haji. Tulisan ini bertujuan untuk memahami masalah yang terjadi dalam pelaksanaan ibadah haji dengan menggunakan visa haji mujamalah dan pelindungan konsumennya. Dengan menggunakan metode yuridis normatif melalui studi kepustakaan, tulisan ini menyimpulkan bahwa permasalahan ibadah haji dengan visa mujamalah terjadi karena visa mujamalah sulit diketahui jumlah dan distribusinya oleh pemerintah serta belum adanya peraturan pelaksanaan yang mengatur lebih lanjut mengenai pelaksanaannya. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, pemerintah perlu segera membentuk peraturan menteri agama untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak konsumen, melakukan pengawasan, sosialisasi dan pembinaan terhadap konsumen, serta melakukan penegakan sanksi administratif yang tegas sesuai undang-undang. Kata kunci: ibadah haji, visa mujamalah, pelindungan konsumen

Penulis
No Author
Abstrak
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government membuka jalan bagi penguatan komunitas desa adat yang berdasarkan nilai-nilai lokal yang ada. Undang-Undang ini juga mengakui keberagaman desa yang ada di Indonesia dan dianggap lebih mengakui adanya kesatuan masyarakat hukum adat dengan menganut salah satu asas yaitu asas rekognisi yang merupakan pengakuan terhadap hak asal usul dan asas subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa. Undang- Undang tentang Desa telah berlaku selama 6 (enam) tahun sejak diundangkan. Dalam kurun waktu tersebut belum ada desa adat yang didaftarkan atau belum terbentuk desa adat sesuai dengan ketentuan Undang- Undang tentang Desa. Banyak faktor yang mengakibatkan hal tersebut terjadi diantaranya kesulitan bagi desa adat untuk memenuhi persyaratan sebagai desa adat atau tidak adanya Peraturan Provinsi mengenai penataan desa walaupun telah adanya peraturan daerah kabupaten kota mengenai penetapan desa adat. Metode penulisan yang digunakan dalam pembahasan adalah metode analisis yuridis normatif, yang menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan Berdasarkan pembahasan yang dilakukan, kesimpulan dari penulisan ini yaitu perlunya perubahan UU tentang Desa antara lain mengenai pengertian desa dan desa adat, pembentukan desa adat, status kelurahan menjadi desa adat, hak asal usul, dan pengelolaan hak ulayat. Kata kunci: kelemahan pengaturan, desa adat, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Penulis
No Author
Abstrak
Hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja adalah jaminan sekaligus hak konstitusional setiap warga negara. Namun, salah satu peristiwa di bidang ketenagakerjaan yang selalu menjadi polemik di setiap akhir tahun yaitu mengenai ketetapan naiknya upah minimum. Salah satu cara pemerintah dalam membantu dunia usaha dan pekerja yaitu dengan membuat suatu sistem sehingga ada kepastian mengenai kenaikan upah setiap tahunnya. Penulisan ini mengangkat permasalahan bagaimana pengaturan upah minimum dalam UU tentang Ketenagakerjaan dan bagaimana pengaturan upah minimum ditinjau dari Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan upah minimum dalam UU tentang Ketenagakerjaan dan ketentuan pengaturan upah minimum ditinjau dari Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Metode penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Pangaturan mengenai upah minimum dalam UU tentang Ketenagakerjaan terdapat pada BAB X khususnya dalam bagian kedua, dari pasal 88 sampai dengan pasal 98. Pemerintah melalui UU tentang Ketenagakerjaan dan PP No.78 Tahun 2015 yang mengatur mengenai upah minimum telah memberikan dasar hukum sebagai upaya memberikan penghasilan yang layak bagi tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengaturan upah minimun sebagai jaring pengaman sosial merupakan upaya agar setiap tenaga kerja dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak sesuai Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa peran negara untuk melindungi pihak yang lemah, yang dalam hal ini adalah buruh melalui hukum/peraturan perundang-undangan dan pengaturan upah minimum dalam UU tentang ketenagakerjaan merupakan bentuk pengejewantahan dari Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Kata kunci: konstitusi, ketenagakerjaan, pesangon

Penulis
No Author
Abstrak
Dalam rangka mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik di daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat yang diatur berdasarkan Undang-Undang. Pengaturan pajak dan retribusi daerah tersebut saat ini diatur dan ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU tentang PDRD). Sepanjang berlakunya UU tentang PDRD terdapat beberapa kali permohonan pengujian UU tentang PDRD terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI Tahun 1945) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dan hanya 4 (empat) permohonan yang dikabulkan oleh majelis hakim. Salah satu putusan yang dikabulkan oleh MK yaitu Putusan Nomor 15/PUU-XV/2017 terkait dengan pengenaan pajak alat-alat berat dan besar. Tulisan ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan. Putusan Nomor 15/PUU-XV/2017 berimplikasi yuridis bahwa alat berat bukan kendaraan bermotor sehingga tidak bisa dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Mahkamah juga menegaskan bahwa terhadap alat berat tetap dapat dikenakan pajak namun dasar hukum pengenaan pajak terhadap alat berat itu bukan karena alat berat merupakan bagian dari kendaraan bermotor. Oleh karena itu, dibutuhkan dasar hukum baru dalam peraturan perundang-undangan untuk mengenakan pajak terhadap alat berat yang antara lain dapat dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap UU tentang PDRD. Kata kunci: pajak daerah dan retribusi daerah, pajak kendaraan bermotor, alat berat

Penulis
No Author
Abstrak
Status hakim diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU tentang ASN). Adapun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014 yang dibacakan pada tanggal 20 April 2015, Mahkamah Konstitusi (MK) menguatkan konsep bahwa hakim ad hoc bukanlah termasuk dalam pengertian hakim yang dikategorikan sebagai pejabat negara. Akan tetapi dalam pertimbangan putusan tersebut, MK berpendapat bahwa penentuan hakim ad hoc sebagai pejabat negara merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang. Akan tetapi sejak putusan MK ini dikeluarkan sampai dengan sekarang belum ada pengaturan dalam bentuk undang-undang yang dikeluarkan oleh pembentuk UU, yaitu Pemerintah dengan DPR. Berdasarkan uraian tersebut terdapat permasalahan yaitu bagaimanakah pengaturan hakim ad hoc sebagai pejabat negara sebelum keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014 dan bagaimanakah pengaturan hakim ad hoc sebagai pejabat negara pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014. Adapun tujuan penulisan ini untuk mengetahui pengaturan hakim ad hoc sebagai pejabat negara sebelum keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014 dan untuk mengetahui pengaturan hakim ad hoc sebagai pejabat negara pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014. Pembahasan tulisan ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan mengkaji substansi dan hukum positif yang menjelaskan permasalahan yang menghambat pengaturan jabatan hakim ad hoc sebagai pejabat negara di Indonesia. Simpulan dari permasalahan ini adalah hakim ad hoc hanya bisa menjabat sebagai pejabat negara jika pengaturannya dituang dalam bentuk undang-undang. Kata kunci: hakim ad hoc, jabatan hakim, pejabat negara