Produk Pusat Perancangan Undang-Undang

Prodigy Jurnal Perundang-undangan Vol. 5 No. 2, Desember 2017

Penulis
No Author
Abstrak
Ketentuan Pasal 36E Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU tentang Nakeswan) memungkinkan importasi ternak dan/atau produk hewan baik yang berasal dari negara tertentu yang bebas penyakit hewan (country based) maupun dari setiap zona tertentu dari wilayah suatu negara yang bebas penyakit hewan (zone based). Pasal 59 ayat (2) UU tentang Nakeswan membatasi harus dengan country based. Perbedaan pengaturan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengimpor dan tidak selaras dengan tujuan awal UU tentang Nakeswan yaitu untuk melindungi wilayah Indonesia dari masuk dan menyebarnya penyakit hewan. Oleh karena itu, perlu dikaji bagaimana arah pengaturan importasi ternak dan/atau produk hewan dalam UU tentang Nakeswan dan bagaimana keberadaan Pasal 36E UU tentang Nakeswan sebagai dasar pengaturan impor ternak dan/atau produk hewan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi 129/PUU-XIII/2015. Tulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menganalisis bahan hukum terkait pelaksanaan importasi hewan. Tulisan ini menyimpulkan bahwa UU tentang Nakeswan memungkinkan pelaksanaan country based dan zone based. Penerapan keduanya harus diikuti kewaspadaan otoritas veteriner dan karantina untuk memastikan terlaksananya peraturan nasional dan internasional secara utuh dan bertanggung jawab. Kunci efektivitas penerapan Pasal 36E UU tentang Nakeswan berada pada frasa “dalam hal tertentu” yang perlu diselaraskan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan sebagai syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menerapkan keduanya di Indonesia. Kata kunci: peternakan, ternak, produk hewan, importasi

Penulis
No Author
Abstrak
Pada saat ini pemilihan kepala daerah (Pilkada) diatur dalam 3 (tiga) Undang-Undang yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Ketiga undang-undang ini masih berlaku sebagai dasar hukum pelaksanaan Pilkada yang diselenggarakan secara serentak. Terdapatnya 2 (dua) kali perubahan UU tentang Penetapan Perppu Pilkada menujukkan bahwa undang-undang ini masih jauh dari sempurna. Bahkan pasca perubahan terakhir UU tentang Penetapan Perppu Pilkada, masih ada sejumlah persoalan yang lahir dari dikabulkannya beberapa permohonan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui masing-masing putusan Mahkamah Konstitusi pasca perubahan terakhir UU tentang Penetapan Perppu Pilkada dan untuk mengetahui apakah UU tentang Penetapan Perppu Pilkada perlu dirubah kembali atau dilakukan penggantian. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diyakini bahwa cukuplah urgensi untuk melakukan perubahan ketiga atas UU tentang Penetapan Perppu Pilkada. Kata Kunci: Pilkada, Putusan Mahkamah Konstitusi, Perubahan undang-undang

Penulis
No Author
Abstrak
Abstrak Kekayaan bangsa Indonesia yang melimpah diharapkan dapat mendorong tercapainya tujuan nasional yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Saat ini telah diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan (UU Tentang Pemajuan Kebudayaan). Permasalahan dalam tulisan ini, bagaimana arah pengaturan kebudayaan di Indonesia dan hal apa yang perlu disiapkan dalam menjalankan UU tentang Pemajuan Kebudayaan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui arah pengaturan kebudayaan di Indonesia dalam UU tentang Pemajuan Kebudayaan dan hal apa saja yang perlu dipersiapkan dalam menjalankan UU tentang Pemajuan Kebudayaan agar dapat menjadi efektif. Metode penulisan yang digunakan adalah metode analisis yuridis normatif. Arah pemajuan kebudayaan berdasarkan UU tentang Pemajuan Kebudayaan dilandasi dengan semangat bahwa kebudayaan sebagai investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan langkah strategis dalam melakukan pemajuan kebudayaan yang dilakukan yaitu melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan. Agar UU tentang Pemajuan Kebudayaan dapat berjalan efektif maka perlu dipersiapkan Pertama, menetapkan peraturan pelaksanaan sesuai dengan yang diamanatkan dalam UU tentang Pemajuan Kebudayaan. Kedua, mempersiapkan sumber daya manusia sebagai operator pusat data objek pemajuan kebudayaan termasuk menyiapkan standar kompetensi bagi operator pusat data mulai dari pendidikan dan pelatihan hingga sertifikasi. Ketiga, mempersiapkan sarana prasarana seperti komputer, baik berupa perangkat keras maupun perangkat lunak, serta taman budaya di daerah. Keempat, berupaya merubah paradigma di masyarakat menjadi bahwa pemajuan kebudayaan harus dipandang sebagai investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa, dan bukan sebagai beban biaya. Kelima, melakukan berbagai upaya agar masyarakat kembali mencintai budayanya. Kata kunci: hukum, pemajuan kebudayaan, warisan budaya nasional

Penulis
No Author
Abstrak
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah beberapa kali diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), salah satu putusan MK adalah putusan nomor 35/PUU-X/2012 yang memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, yang intinya adalah hutan adat tidak lagi berstatus sebagai hutan negara, melainkan berstatus sebagai hutan hak. Permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimanakah status hutan adat pasca putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 dan implikasi pengelolaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat. Adapun tujuan adalah memahami dan mengetahui status hutan adat dan implikasi pengelolaan hutan adat. Tulisan ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif yakni dengan melakukan pengkajian sumber-sumber kepustakaan. Setelah data terkumpul kemudian data dianalisis dengan analisis deskriptif. Konsekuensi yuridis dari keputusan ini, maka terdapat tiga nomenklatur status hutan di Indonesia yaitu hutan negara, hutan hak dan hutan adat. Implikasi pengelolaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat ada dua, implikasi positif yaitu menguatkan pengakuan dan perlindungan Negara terhadap hak masyarakat hukum adat atas hutan adatnya dan implikasi negatif yaitu dapat memicu terjadinya konflik antara masyarakat hukum adat dengan pelaku usaha dan dapat menyebabkan terjadinya kerusakan hutan adat sehingga kelestarian hutan adat terancam. Kata kunci: putusan mahkamah konstitusi, status hutan, masyarakat hukum adat.

Penulis
No Author
Abstrak
Perubahan peta politik pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menyebabkan dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda Tahun 2014). Khusus untuk sektor kehutanan, UU Pemda Tahun 2014 memberikan pergeseran/perubahan urusan pemerintahan dengan hanya dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi kecuali yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan hal tersebut terdapat permasalahan mengenai bagaimana pergeseran urusan dan kewenangan antar tingkat pemerintahan berdasarkan UU Pemda Tahun 2014 serta bagaimana implikasi hukumnya. Adapun tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui pergeseran urusan dan kewenangan antar-tingkat pemerintahan tersebut. Metode penulisan yang digunakan yaitu metode hukum normatif dengan spesifikasi penulisan deskriptif analitis. Pergeseran pembagian urusan bidang kehutanan meliputi sub urusan perencanaan hutan, pengelolaan hutan, pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan, serta pengawasan kehutanan. Implikasi hukum dari pergeseran ini antara lain pemerintah pusat tetap melibatkan pemerintah provinsi dalam proses pengukuhan kawasan hutan, pemerintah kabupaten/kota tidak lagi mempunyai kewenangan mengajukan area penggunaan lain dikarenakan kewenangan tersebut ditarik dan dikonsolidasikan seluruhnya di tingkat provinsi, institusi kesatuan pengelolaan hutan di tingkat kabupaten akan berada di bawah otoritas provinsi, dan tahapan pemberian izin lokasi dalam kawasan hutan dimulai dari pemeriksaan usulan oleh balai pemantapan kawasan hutan dan meminta pertimbangan teknis provinsi melalui dinas kehutanan provinsi serta diajukan kepada menteri untuk mengeluarkan keputusan (izin lokasi) perubahan kawasan. Kata Kunci: pemerintahan daerah, pergeseran/perubahan kewenangan, pengelolaan hutan
Prodigy Jurnal Perundang-undangan Vol. 5 No. 1, Juni 2017

Penulis
No Author
Abstrak
Sebagai negara hukum Indonesia menganut paham sistem hukum eropa kontinental yang lebih mengutamakan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) daripada hukum tidak tertulis. Di sisi lain berdasarkan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 195 (UUD NRI Tahun 1945), Indonesia mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak tradisionalnya (hukum adat) yang telah ada sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum adat sebagai living law dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Selain itu perlu diketahui juga mengenai sikap negara terhadap keberadaan Hukum Adat berdasarkan prinsip NKRI. Metode penulisan yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan data sekunder yang dianalisis secara kualitatif. Secara umum hukum adat merupakan hukum tidak tertulis yang berupa ketentuan atau nilai yang hidup (living law) yang ditaati oleh masyarakat hukum adat. Hukum adat merupakan bagian dari hukum Indonesia yang seharusnya tidak bertentangan dan bersifat saling melengkapi dengan peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis. Kata kunci : negara hukum, hukum tertulis, hukum adat, nilai yang hidup. Abstract As a state law, Indonesia adheres to the european continental legal system that prefers the written law (regulations) rather than the unwritten law. On the other hand, based on Article 18B paragraph (2) of the 1945 Constitution of the State of the Republic of Indonesia, Indonesia also recognizes and respects the unity of indigenous people and its traditional rights (adat law) that existed prior to the establishment of the Unitary State of the Republic of Indonesia. This paper aims to know the position of adat law as living law in Indonesian legislation. In addition, it is also necessary to know about the state's disposition toward the existence of Adat Law based on the principle of the Unitary State of the Republic of Indonesia. Method of this writing uses juridical normative method with secondary data that analyzed qualitatively. Adat law is generally unwritten law in the form of living law which is adhered to by Indigenous peoples. Adat law is part of Indonesian law that should not be contradictory yet complementary with the regulations. Key words : state law, written law, adat law, living law.

Penulis
No Author
Abstrak
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan perairan yang sangat luas dan memiliki potensi sumber daya alam di wilayah laut yang sangat besar. Dalam kegiatan pemanfaatan potensi sumber daya alam laut Indonesia sering terjadi permasalahan salah satunya illegal, unreported, and unregulated fishing (IUU Fishing). Indonesia telah meratifikasi konvensi hukum laut internasional sehingga perlu dilihat pengaturan mengenai tindakan pembakaran dan penenggelaman kapal asing yang melakukan IUU Fishing dalam konvensi tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tinjauan hukum laut internasional terkait tindakan pembakaran dan penenggelaman kapal asing yang melakukan IUU Fishing di wilayah perairan Indonesia dan pengaturan sanksi dalam hukum nasional Indonesia bertentangan atau tidak dengan aturan hukum laut internasional. Tulisan ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif yakni dengan melakukan pengkajian sumber-sumber kepustakaan. Setelah data terkumpul kemudian data dianalisis dengan analisis deskriptif. Hasil tulisan ini menunjukkan bahwa dalam perspektif hukum laut internasional, tidak diatur spesifik sanksi terhadap IUU Fishing. Tindakan pembakaran dan penenggelaman kapal asing yang melakukan IUU Fishing di wilayah perairan Indonesia tidak bertentangan dengan ketentuan dalam hukum laut internasional dan bagian dari wewenang negara Indonesia untuk memberikan sanksi terhadap tindakan kapal asing yang melakukan IUU Fishing. Selain itu, pengaturan sanksi IUU Fishing oleh kapal asing telah diatur dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yaitu berupa sanksi tegas dengan membakar dan menenggelamkan setiap kapal asing yang melakukan IUU Fishing.

Penulis
No Author
Abstrak
Peredaran obat dan makanan di masyarakat sangat beraneka ragam baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Peredaran obat dan makanan di masyarakat banyak menimbulkan permasalahan yaitu beredarnya obat dan makanan ilegal (tanpa izin), serta obat dan makanan dengan kandungan zat kimia berbahaya. Untuk menangani permasalahan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Pengawasan Obat dan Makanan serta Pemanfaatan Obat Asli Indonesia (RUU POM serta Pemanfaatan OAI). Dalam penulisan ini mengangkat permasalahan ruang lingkup pengawasan obat dan makanan menjadi kewenangan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan apakah judul rancangan undang-undang tersebut sudah tepat jika dilihat dari ruang lingkup pengawasan obat dan makanan. Metode penulisan ini menggunakan metode yurudis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah non Departemen dan Sistem Kesehatan Nasional (SKN), BPOM bertugas melaksanakan pengawasan obat dan makanan yang bertujuan untuk menjamin persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu produk. Istilah obat asli Indonesia sudah tidak ada sejak undang-undang tentang farmasi dicabut oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (UU tentang Kesehatan). Sedangkan pemanfaatan obat maupun obat tradisional merupakan kewenangan Kementerian Kesehatan yang tertuang dalam SKN. Jika dilihat dari kewenangan BPOM dan Kemenkes maka judul RUU POM dan Pemanfaatan OAI tidak tepat.

Penulis
No Author
Abstrak
Dokter layanan primer merupakan profesi baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UU tentang Pendidikan Kedokteran). Dokter layanan primer sangat diperlukan sejalan dengan penerapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mengharuskan alur pelayanan diawali dari fasilitas primer, seperti di puskesmas, klinik pratama, dan praktik dokter mandiri. Namun, permasalahan yang timbul adalah bagaimana konsep pengaturan dokter layanan primer dalam UU tentang Pendidikan Kedokteran dan sinkronisasinya dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU tentang Praktik Kedokteran), yang hanya mengatur mengenai dokter umum, dokter spesialis, dan dokter sub spesialis. Profesi dokter layanan primer justru dinilai akan menghambat dan melanggar akses pelayanan dokter umum di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui konsep pengaturan dokter layanan primer dalam UU tentang Pendidikan Kedokteran dan sinkronisasinya dengan UU tentang Praktik Kedokteran serta impilkasi hukum keberadaan dokter layanan primer dalam praktik kedokteran di Indonesia. Tulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan melakukan analisis terhadap prinsip dasar negara dalam mewujudkan jaminan kesehatan melalui penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional, sistem pelayanan kesehatan primer, serta peraturan perudang-undangan. Keberadaan dokter layanan primer memberikan perubahan pada penyelenggaraan pendidikan kedokteran yang menimbulkan implikasi hukum. Hal ini terutama berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan profesi dokter layanan primer, mencakup standar pendidikan profesi, pelaksanaan uji kompetensi, pemberian sertifikat kompetensi, penyiapan sarana dan prasarana yang diperlukan, dan penyiapan rumah sakit pendidikan. Kata Kunci: Dokter Layanan Primer, Pendidikan Kedokteran, Prinsip Praktik Kedokteran.

Penulis
No Author
Abstrak
Indonesia sebagai salah satu negara muslim terbesar memiliki potensi ekonomi yang tinggi, salah satunya melalui keberadaan wakaf. Potensi ekonomi ini belum dimaksimalkan untuk kesejahteraan ekonomi masyarakat. Pemerintah bersama dengan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia menginisiasi sebuah lembaga keuangan syariah yaitu bank wakaf ventura untuk mengelola dana wakaf yang beredar untuk kesejahteraan dan peningkatan ekonomi masyarakat. Permasalahan yang dikemukakan dalam penulisan ini adalah bagaimana bentuk hukum, legalitas pendirian, serta sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan dibentuknya bank wakaf ventura. Tujuan penulisan untuk mengetahui aspek bentuk hukum, legalitas pendirian, serta sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan dengan dibentuknya bank wakaf ventura. Metode penulisan disusun dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu melakukan pengkajian terhadap sumber-sumber kepustakaan dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan. Berdasarkan analisis dalam tulisan ini disimpulkan bahwa pembentukan bank wakaf ventura dilakukan dengan bentuk hukum perusahaan modal ventura syariah dengan aspek legalitas sesuai dengan peraturan perundang-undangan khususnya dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Selain itu pembentukan bank wakaf ventura perlu disinkronisasikan dengan undang-undang yang terkait. Kata kunci: keuangan syariah, wakaf, modal ventura.