Produk Pusat Perancangan Undang-Undang

Prodigy Jurnal Perundang-undangan Vol. 7 No. 2, Desember 2019

Penulis
No Author
Abstrak
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU tentang Guru dan Dosen), mengatur bahwa kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Pada kenyataannya, masih banyak persoalan penting terkait guru dalam implementasi UU tentang Guru dan Dosen, antara lain belum diaturnya Pendidikan Profesi Guru (PPG) secara sistematis dan komprehensif. Tulisan ini mengangkat permasalahan bagaimana penyelenggaraan PPG yang diatur dalam UU tentang Guru dan Dosen serta bagaimana kendala implementasinya; dan bagaimana upaya mendesain ulang PPG untuk mewujudkan penguatan kompetensi guru secara optimal. Tujuan penulisan ini, yaitu untuk mengetahui penyelenggaraan PPG yang diatur dalam UU tentang Guru dan Dosen serta kendala implementasinya; dan untuk mengetahui upaya mendesain ulang PPG untuk mewujudkan penguatan kompetensi guru secara optimal. Metode penulisan yang digunakan dalam pembahasan adalah metode analisis yuridis normatif, yang menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, dan hasil pengumpulan data yang terkait dengan penyelenggaraan PPG. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, pengaturan PPG yang tidak sistematis dan komprehensif tersebut mengakibatkan guru memiliki keterbatasan dalam penguasaan kompetensi sehingga kualitas dan mutu guru masih dianggap rendah. Simpulan tulisan ini yaitu beberapa hal yang menjadi kendala dalam implementasi PPG disebabkan belum terintegrasinya pendidikan akademik dan PPG, terbatasnya sarana dan prasarana Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), serta belum maksimalnya peran Pemerintah dan organisasi profesi. Dengan demikian, perlu upaya mendesain ulang PPG agar tercipta lulusan PPG yang kompeten dan berintegritas untuk menjadi guru yang profesional. Kata kunci: guru, pendidikan profesi guru, kompetensi, profesional

Penulis
No Author
Abstrak
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU tentang Penyandang Disabilitas) mengatur mengenai hak penyandang disabilitas, salah satu hak nya yakni hak pekerjaan. Pemerintah dan Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban untuk mempekerjakan Penyandang Disabilitas disesuaikan dengan kemampuan dan kedisabilitasan. Namun pada kenyataannya di Instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah belum sepenuhnya mempekerjakan penyandang disabilitas sebanyak dua persen dari jumlah pegawai atau karyawan dan muncul permasalahan berupa adanya penolakan bagi penyandang disabilitas saat melamar menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dikarenakan kedisabilitasannya. Dalam penulisan ini mengangkat permasalahan terkait bagaimanakah pelindungan jaminan hak penyandang disabilitas dalam rekrutmen calon pegawai negeri sipil berdasarkan Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU tentang ASN) dan upaya apakah yang harus dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka pelindungan jaminan hak penyandang disabilitas dalam perekrutan CPNS. Tujuan penulisan yaitu untuk mengetahui bagaimanakah pelindungan jaminan hak penyandang disabilitas dalam rekrutmen calon pegawai negeri sipil berdasarkan Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas dan UU tentang ASN dan upaya apakah yang harus dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka pelindungan jaminan hak penyandang disabilitas dalam perekrutan CPNS. Metode penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Terjadinya penolakan atau pembatalan status CPNS penyandang disabilitas karena kedisabilitasannya yang dilakukan oleh pemberi kerja bertentangan dengan UU tentang Penyandan Disabilitas, UU tentang ASN serta peraturan pelaksananya. Oleh sebab itu Pemerintah harus melakukan upaya agar permasalahan serupa tidak terulang kembali. Kata kunci: penyandang disabilitas, hak bekerja, calon pegawai negeri sipil

Penulis
No Author
Abstrak
Indonesia merupakan negara rawan bencana sehingga disebut juga negara cincin api. Sejak gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004, Indonesia belum memiliki sistem nasional penanggulangan bencana. Atas usul inisiatif DPR disahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Namun terdapat permasalahan dalam pengaturan maupun implementasi, diantaranya belum ada pengaturan peran serta relawan bencana. Saat ini, atas usul inisiatif DPR menyetujui untuk membentuk rancangan undang-undang tentang Penanggulangan Bencana sebagai pengganti UU tentang Penanggulangan Bencana. Selama ini hanya ada Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 Tahun 2011 tentang Pedoman Relawan Penanggulangan Bencana. Permasalahannya, apa yang menjadi urgensi pengaturan peran serta relawan bencana dalam rancangan undang-undang tentang Penanggulangan Bencana? Apa materi muatan yang perlu diatur terkait peran serta relawan bencana dalam rancangan undang-undang tentang Penanggulangan Bencana. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui urgensi pengaturan peran serta relawan bencana dan materi muatan yang perlu diatur terkait peran serta relawan bencana dalam rancangan undang-undang tentang Penanggulangan Bencana. Metode penulisan yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Urgensinya disini agar Indonesia memiliki relawan bencana yang berkompeten, berdayaguna dan memliki payung hukum. Materi muatan yang perlu diatur antara lain: calon relawan bencana harus bergabung dalam organisasi relawan bencana; relawan bencana terdiri dari relawan bencana ahli dan/atau tersertifikasi; pendataan relawan bencana oleh organisasi relawan bencana; dan adanya jaminan pelindungan relawan bencana dari Pemerintah yang terdiri dari pelindungan hukum, sosial,dan kesehatan. Kata kunci: relawan bencana, penanggulangan bencana, rancangan undang-undang

Penulis
No Author
Abstrak
Film merupakan salah satu media komunikasi muncul sejak masa penjajahan Belanda. Semenjak masa itu pula, telah lahir berbagai regulasi yang mengatur tentang tata kelola perfilman di Indonesia. Seiring dengan perkembangan jaman, pergeseran nilai film sebagai bagian dari proses budaya dan komunikasi masyarakat, perkembangan teknologi, serta untuk mengatasi permasalahan perfilman yang terjadi di Indonesia, perlu adanya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Adanya perubahan tersebut diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan maupun memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi kegiatan perfilman di Indonesia, baik yang bersifat komersial maupun nonkomersial, ataupun proses kreatif perfilman. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui berbagai permasalahan dalam Undang-Undang tentang Perfilman, seperti permasalahan kelembagaan perfilman dan kapasitas sumberdaya manusia yang selama ini belum berjalan maksimal, serta memberikan gambaran bagaimana seharusnya perubahan dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Metode penulisan yang digunakan berupa metode hukum normatif dengan studi kepustakaan yang terkait dengan perfilman. Perubahan Undang-Undang tentang Perfilman menjadi sangat penting untuk memberikan pengaturan kegiatan dan kelembagaan perfilman Indonesia menjadi lebih baik dan memberikan kepastian hukum. Kata kunci: perfilman, undang-undang, urgensi

Penulis
No Author
Abstrak
Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah sebuah identitas. Ideologi dengan lima sila yang memiliki nilai budaya dan religius. Indonesia yang terdiri dari beragam budaya, suku, bahasa, dan enam agama yang oleh negara diakui, yaitu: Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu. Para pendiri bangsa ini telah bersepakat bahwa Indonesia adalah negara yang berketuhanan, bukan negara agama. Beragam kasus penistaan agama yang terjadi di Indonesia pada tahun-tahun terakhir dan semakin meresahkan ketika isu agama seringkali dikaitkan dengan politik. Tidak hanya rakyat biasa, para pemimpin bangsa dan pemuka agama juga turut tersangkut kasus penistaan agama. Alih-alih membela agama yang dianut, para pemeluk agama mengesampingkan sikap toleransi antar umat beragama dengan menista agama lain. Hal tersebut sungguh disesalkan, karena Pancasila sebagai landasan idiil bangsa Indonesia seperti telah memudar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, untuk mengetahui secara jelas bagaimanakah larangan penistaan agama di Indonesia, perlu mengkaji amanah Pancasila melalui butir-butir Pancasila dan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang menjadi batasan dan arah untuk terciptanya Indonesia yang harmonis dalam berketuhanan. Larangan penistaan agama memberikan batasan yang jelas agar setiap umat beragama di Indonesia berhak memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing dengan tidak mengesampingkan hukum, demokrasi, hak asasi manusia, ketertiban umum, dan nilai-nilai agama itu sendiri. Kata kunci: agama, penista agama, pancasila, peraturan perundang-undangan
Prodigy Jurnal Perundang-undangan Vol. 7 No. 1, Juli 2018

Penulis
No Author
Abstrak
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam hal terkait dengan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah memiliki sifat final dan mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi juga berlaku sejak diucapkan secara umum dalam sidang pembacaan putusan. Dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi bilamana suatu ayat, pasal, ataupun bab yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi adalah tidak berlakunya norma tersebut sehingga setiap pihak seharusnya melaksanakan perintah putusan Mahkamah Konstitusi. Namun demikian dalam beberapa perkara seperti dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 31/PUU-XI/2013, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 66/PUU-XI/2013, dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XVI/2018, ketiga putusan Mahkamah Konstitusi tersebut ditindaklanjuti dan bahkan tidak kunjung ada revisi undang-undang yang seharusnya dilakukan. Hal ini menjadi kajian yang menarik untuk diteliti karena ketidakpatuhan pembentuk undang-undang dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi justru bertentangan dengan sifat putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Masalah yang muncul dari sejumlah putusan tersebut diatas adalah bagaimana seharusnya pembentuk undang-undang menindakanjuti tiga putusan Mahkamah Konsititusi tersebut dan apa upaya yang dapat dilakukan agar kedepannya pembentuk undang-undang dapat mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mendapatkan jawaban dari kedua hal tersebut yakni bagaimana menindaklanjuti tiga putusan Mahkamah Konstitusi dan solusi agar dapat meningkatkan kepatuhan pembentuk undang-undang dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dan dampak yang ditimbulkan maka cukup beralasan untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan membentuk Rancangan Undang-Undang tentang Dewan Perwakilan Rakyat.

Penulis
No Author
Abstrak
Abstrak Air dan sumber daya air merupakan sumber daya yang sangat penting bagi hajat hidup orang banyak. Pengelolaan sumber daya air di Indonesia sebelumnya diatur dalam UU tentang SDA, namun kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konsitusi. Saat ini landasan hukum pengaturan sumber daya air kembali menggunakan UU tentang Pengairan. Mengingat persoalan yang dihadapi sudah tidak dapat lagi diatasi dengan UU tentang Pengairan, maka harus segera dibentuk suatu undang-undang yang menggantikan UU tentang SDA. Dalam pengaturannya kelak, sumber daya air seharusnya dikelola dengan memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Setidaknya pengelolaan sumber daya air harus memperhatikan aspek penguasaan negara terhadap sumber daya air, pemenuhan hak rakyat atas air, dan pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan. Ketiga hal ini merupakan aspek yang diturunkan dari nilai ketuhanan dan keadilan sosial dalam Pancasila dan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.

Penulis
No Author
Abstrak
Peningkatan jumlah kendaraaan bermotor menyebabkan kemacetan di ruas jalan Jakarta. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dikeluarkan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 25 Tahun 2017 tentang Pengendalian Lalu Lintas dengan Pembatasan Kendaraan Bermotor Melalui Sistem Jalan Berbayar Elektronik (Pergub No. 25 Tahun 2017) yang mengatur jenis dan tarif kendaraan yang dapat melewati wilayah tersebut. Namun jenis kendaraan yang dikenakan tarif layanan dalam Pergub No. 25 Tahun 2017 tidak selaras dengan Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (yang selanjutnya disebut PP No. 97 Tahun 2012). Permasalahan yang akan dikaji yaitu bagaimana pengaturan manajemen kebutuhan lalu lintas melalui penerapan jalan berbayar elektronik dan bagaimana pengaturan jalan berbayar elektornik dalam Pergub No. 25 Tahun 2017 ditinjau dari hierarki peraturan perundang-undangan. Tulisan bertujuan untuk mengetahui pengaturan manajemen kebutuhan lalu lintas melalui penerapan jalan berbayar elektronik dan pengaturan jalan berbayar elektornik dalam Pergub No. 25 Tahun 2017 ditinjau dari hierarki peraturan perundang-undangan. Tulisan ini disusun dengan metode penulisan yuridis normatif. Manajemen kebutuhan lalu lintas salah satunya dilakukan dengan cara pembatasan lalu lintas kendaraan perseorangan dan barang pada koridor/kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu. Dalam praktiknya terdapat ketidakselarasan mengenai objek retribusi pengendalian lalu lintas yang tercantum dalam peraturan gubernur dan peraturan pemerintah dan hal ini tidak sejalan dengan konsep hierarki peraturan perundang-undangan yang dianut indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian ke Mahkamah Agung.

Penulis
No Author
Abstrak
Berkembangnya industri fintech di Indonesia didukung oleh makin meningkatnya jumlah pengguna internet dan smartphone di Indonesia, satu sisi memberikan keuntungan kepada konsumen, karena konsumen mendapatkan peluang yang lebih luas untuk mengakses jasa yang diinginkan. Namun, di sisi lain kondisi ini juga memberikan kemungkinan yang negatif untuk penegakan hukum pelindungan konsumen. Permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimanakah bentuk pelindungan hukum bagi nasabah fintech dan apa bentuk penyelesaian sengketa antara nasabah fintech dan perusahaan pemberi pinjaman. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bentuk pelindungan hukum bagi nasabah fintech dan bentuk penyelesaian sengketa. Tulisan ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif yakni dengan melakukan pengkajian sumber kepustakaan yang terdiri dari berbagai literature terkait dengan pengaturan fintech serta mengkaji naskah pendukungnya dari berbagai peraturan perundang-undangan. Kesimpulan yang diperoleh dari tulisan ini adalah OJK telah mengeluarkan beberapa peraturan terkait pelindungan konsumen Fintech yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, dan POJK No. 13 /POJK.02/2018 Tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. Adapun pokok-pokok ketiga POJK tersebut mengatur mengenai mekanisme pencatatan dan pendaftaran fintect, mekanisme pemantauan dan pengawasan fintech, pembentukan ekossitem fintech,membangun budaya inovasi, dan inklusi dan literasi seta bentuk penyelesaian sengketa mekanisme Internal Dispute Resolution (IDR), Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) dan fasilitasi terbatas dari OJK.

Penulis
No Author
Abstrak
Pemajuan kebudayaan dan pariwisata memiliki pola yang berbeda dalam memberikan kontribusi dalam memajukan perekonomian nasional. Setiap sektor tersebut memiliki peraturan sebagai landasan hukum. Apabila peraturan antara sektor pariwisata dengan sektor kebudayaan tidak harmonis, setiap sektor akan terhambat untuk mencapai tujuannya. Dengan adanya potensi terjadinya benturan kepentingan maka kehadiran hukum diperlukan untuk menyelaraskan berbagai kepentingan. Oleh karena itu, bagaimana harmonisasi antara pengaturan pengelolaan kepariwisataan dan pemajuan kebudayaan dalam menunjang peningkatan perekonomian di Indonesia penting untuk diketahui. Metode penulisan yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Secara filosofis, baik Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (UU tentang Kepariwisataan) maupun Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (UU tentang Pemajuan Kebudayaan) memiliki tujuan yang sama yaitu melalui pengaturan dari kedua undang-undang tersebut diharapkan dapat mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang salah satunya untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Beberapa definisi dalam kedua Undang-Undang tersebut bila ditafsirkan baik secara gramatikal, sistematikal, dan ektensif serta restriktif juga telah terdapat keselarasan serta mencerminkan korelasi antara kebudayaan dan pariwisata yang tergambar bahwa hubungan antara budaya dan pariwisata memiliki keterkaitan dan hubungan yang sangat erat. Beberapa nilai serta antara asas dan tujuan dari pemajuan kebudayaan dan kepariwisataan dalam kedua undang-undang tersebut juga telah harmonis. Dengan berbagai keselarasan tersebut maka pengaturan pengelolaan pariwisata berdasarkan UU tentang Kepariwisataan dan pemajuan kebudayaan berdasarkan UU tentang Pemajuan Kebudayaan dalam menunjang peningkatan perekonomian di Indonesia dapat dikatakan berjalan secara harmonis dan diharapkan penerapannya dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.