Konstitusionalitas hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menimbulkan pro dan kontra di kalangan pakar hukum tata negara yang didasarkan pada perbedaan penafsiran terhadap dasar pengaturan hak angket, yaitu Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU tentang MD3) beserta penjelasannya. Pihak yang setuju beranggapan bahwa hak angket merupakan bentuk pengawasan DPR terhadap pelaksanaan undang-undang, sementara pihak kontra beranggapan bahwa hak angket seharusnya ditujukan untuk menyelidiki kebijakan pemerintah saja. Polemik tidak mereda pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/PUU-XV/2017, 37/PUU-XV/2017, dan 40/PUU-XV/2017 yang menolak permohonan Para Pemohon, dengan pendapat berbeda dari 4 (empat) orang hakim MK. Tulisan ini ditujukan untuk mengetahui praktik hak angket di Indonesia selama ini dan perbandingan praktik hak angket di beberapa parlemen negara lain, serta untuk mengetahui konstitusionalitas hak angket. Metode penulisan yuridis normatif dengan spesifikasi penulisan deskriptif analitis. Tulisan ini menyimpulkan bahwa: Pertama, dalam praktik hak angket di Indonesia, KPK bukan satu-satunya lembaga independen di luar eksekutif yang pernah diangket; Kedua, praktik di beberapa parlemen negara lain menunjukkan bahwa hak angket dapat dilakukan untuk pelaksanaan undang-undang dan ditujukan di luar eksekutif; dan Ketiga, hak angket terhadap KPK konstitusional berdasarkan hukum positif, putusan Mahkamah Konstitusi, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, dan prosedur pembentukan Panitia Khusus Hak Angket DPR terhadap KPK (Pansus Hak Angket KPK). Penulis menyarankan agar segera dilakukan revisi terhadap rumusan Pasal 79 ayat (3) UU tentang MD3 dan penjelasannya, agar tidak lagi menimbulkan multitafsir.