Produk Pusat Perancangan Undang-Undang

Prodigy Jurnal Perundang-undangan Vol. 6 No. 2, Desember 2018

Penulis
No Author
Abstrak
Pemerintah Pusat telah menetapkan beberapa kebijakan penanaman modal untuk mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional dan mempercepat peningkatan penanaman modal. Salah satu kebijakannya melalui ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission) (PP No. 24 Tahun 2018). Namun demikian penetapan PP No. 24 Tahun 2018 ini dianggap masih terdapat beberapa pertentangan dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU tentang Penanaman Modal). Adapun permasalahan yang terdapat dalam penulisan ini adalah bagaimana pendelegasian kewenangan PP No. 24 Tahun 2018 terhadap UU tentang Penanaman Modal, otoritas perizinan penanaman modal pasca berlakunya PP No. 24 Tahun 2018, serta implikasi sistem perizinan berusaha secara elektronik terhadap kegiatan penanaman modal. Tujuan dalam penulisan ini untuk mengetahui pendelegasian kewenangan PP No. 24 Tahun 2018 terhadap UU tentang Penanaman Modal, otoritas perizinan penanaman modal pasca berlakunya PP No. 24 Tahun 2018, serta implikasi sistem perizinan berusaha secara elektronik terhadap kegiatan penanaman modal. Metode penulisan ini disusun dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Setelah dianalisis diketahui bahwa keberlakuan PP No. 24 Tahun 2018 tidak diperintahkan secara langsung oleh UU tentang Penanaman Modal. Selanjutnya terdapat dualisme otoritas perizinan dalam kegiatan penanaman modal. Selain itu terdapat implikasi sistem perizinan berusaha secara elektronik terhadap kegiatan penanaman modal yang telah berlangsung.

Penulis
No Author
Abstrak
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU tentang Kepailitan) tidak mengatur dengan tegas kedudukan dan prioritas kreditor dalam kepailitan. Hal ini menimbulkan permasalahan dalam praktik pembagian harta pailit kepada para kreditor. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan dan prioritas kreditor dalam kepailitan. Tulisan ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif menggunakan data sekunder yaitu penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan cara mempelajari dan mengumpulkan bahan hukum yang bersumber dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Setelah data terkumpul kemudian data dianalisis dengan analisis kualitatif. Hasil tulisan ini menunjukkan bahwa dalam UU tentang Kepailitan, kedudukan para kreditor menjadi tumpang tindih. Para kreditor dalam undang-undang sektor memiliki kedudukan kuat untuk didahulukan. Hal ini menjadi masalah apabila harta pailit tidak cukup dalam membayar seluruh tagihan, kreditor mana yang akan didahulukan dalam pembayaran piutangnya. Oleh karena itu perlu pengaturan mengenai prioritas kedudukan kreditur dalam kepailitian dalam UU tentang Kepailitan. Menurut penulis urutan prioritas kreditor dalam kepailitan yaitu: Pertama, pembayaran upah buruh, Kedua, kreditor separatis, dan Ketiga, kreditor piutang pajak.

Penulis
No Author
Abstrak
Penegakan hukum persaingan usaha terhadap praktik kartel di Indonesia masih mengalami kesulitan. Salah satu kesulitan yang ditemui yaitu terkait pembuktian perjanjian kartel. Perjanjian kartel merupakan perjanjian yang sangat sulit dibuktikan karena sebagian besar praktik kartel dibuat secara sangat tertutup atau rahasia. Dalam rangka memberantas praktik kartel, perubahan hukum persaingan usaha di Indonesia akan mengatur mengenai leniency program. Leniency program merupakan pemberian kemurahan, kelonggaran, atau pengampunan kepada pelaku usaha yang mengungkapkan atau memberikan informasi tentang adanya praktik kartel yang dibuat bersama dengan pelaku usaha lain. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana penerapan leniency program dalam hukum persaingan usaha di Amerika Serikat dan Jepang serta pengaturan leniency program sebagai strategi pemberantasan praktik kartel dalam perubahan hukum persaingan usaha di Indonesia dari perspektif leniency program di Amerika Serikat dan Jepang. Tulisan ini menggunakan metode yuridis normatif. Kesimpulan tulisan ini yaitu Amerika Serikat dan Jepang merupakan 2 (dua) dari banyak negara yang sudah menerapkan leniency program untuk memberantas praktik kartel. Pengaturan leniency program telah diakomodir dalam Perubahan hukum persaingan usaha di Indonesia melalui Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat (RUU tentang Persaingan Usaha) namun belum menentukan model leniency program yang akan digunakan. Hukum persaingan usaha di Amerika Serikat dan Jepang dapat dijadikan referensi untuk menerapkan leniency program di Indonesia karena kedua negara tersebut telah berhasil memberantas praktik kartel dengan menggunakan leniency program. RUU tentang Persaingan Usaha perlu mengadopsi leniency program karena program tersebut dapat digunakan untuk membantu mendapatkan alat bukti dalam mengungkap praktik kartel.

Penulis
No Author
Abstrak
Hedging merupakan praktik yang biasa digunakan oleh pelaku ekonomi khususnya di industri keuangan, dengan tujuan memitigasi resiko pergerakan aset keuangan seperti nilai tukar, dengan melaksanakan hedging maka besarnya resiko yang terjadi akibat volatilitas nilai tukar yang dihadapi di masa mendatang dapat diminimalisir dan diperhitungkan di masa sekarang. Di Indonesia, upaya untuk meminimalisir faktor risiko yang dihadapi akibat perbedaan nilai tukar tersebut di atur dalam beberapa instrumen hukum seperti peraturan Menteri maupun peraturan Bank Indonesia. Akan tetapi dalam tataran praktik, penerapan peraturan mengenai hedging itu tidaklah mudah. Selain terdapatnya perbedaan antara aturan yang satu dengan yang lain, ketidakpahaman pengambil kebijakan dalam perusahaan pun mendorong keengganan untuk menerapkan fasilitas jaminan hedging ini. Berdasarkan uraian tersebut terdapat permasalahan mengenai bagaimana implikasi hukum pemberian fasilitas hedging terhadap utang luar negeri badan usaha dan bagaimana upaya perbaikan regulasi pemberian fasilitas hedging yang telah ada. Adapun tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui implikasi hukum pemberian fasilitas hedging terhadap utang luar negeri badan usaha sekaligus untuk mengetahui upaya perbaikan regulasi terkait hedging tersebut. Pembahasan dalam penulisan ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan mengkaji substansi dan hukum positif yang mengatur mengenai pemberian fasilitas hedging kepada badan usaha yang ternyata belum diterapkan secara efektif. Simpulan dari permasalahan ini adalah ketidakseragaman pengaturan pelaksana mengenai pemberian fasilitas hedging antar tiap lembaga berimbas kepada ketaatan dan keteraturan badan usaha untuk ikut serta dalam pemberian jaminan lindung nilai itu sendiri sehingga perbaikan regulasi lindung nilai merupakan suatu keharusan.

Penulis
No Author
Abstrak
Penyadapan pada hakikatnya merupakan tindakan yang dilarang. Penyadapan merupakan tindakan melanggar hak asasi manusia (HAM) yaitu hak privasi dari setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU tentang HAM). Penyadapan dilarang dalam beberapa ketentuan undang-undang, namun ada pengecualian yaitu penyadapan diperbolehkan bagi aparat penegak hukum untuk kepentingan penegakan hukum. Terdapat beberapa persoalan yang terjadi dalam pelaksanaan penyadapan di Indonesia. Saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai penyadapan. Pengaturan penyadapan tersebar dalam beberapa undang-undang, tidak diatur secara rinci, dan masih memiliki beberapa kelemahan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Perkara Nomor 5/PUU-VIII/2010 menegaskan pengaturan penyadapan harus dalam undang-undang. Berdasarkan permasalahan tersebut, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji mengenai pengaturan penyadapan ditinjau dari perspektif HAM dan penataan pengaturan mengenai penyadapan agar sesuai dengan prinsip pelindungan HAM. Metode yang digunakan dalam tulisan ini yakni yuridis normatif dengan menggunakan bahan hukum kepustakaan. Tulisan ini menyimpulkan bahwa kebutuhan akan pengaturan hukum mengenai penyadapan secara komprehensif dalam suatu undang-undang tersendiri merupakan kebutuhan mendesak agar pelaksanaan penyadapan dilakukan secara seragam oleh setiap pihak yang berwenang. Oleh karena itu diperlukan suatu landasan hukum yang kuat untuk mengatur penyadapan agar tidak terjadi lagi pelaksanaan penyadapan yang melanggar HAM. Pelaksanaan penyadapan harus dilakukan oleh pihak yang berwenang, tanpa diskriminatif, bertanggung jawab, dan menjamin pelindungan terhadap HAM. Perlu dilakukan penataan pengaturan mengenai penyadapan yang sesuai dengan prinsip pelindungan HAM dengan segera membentuk undang-undang yang secara khusus mengatur tentang penyadapan.
Prodigy Jurnal Perundang-undangan Vol. 6 No. 1, Juli 2018

Penulis
No Author
Abstrak
Dalam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, Majelis Umum PBB dapat melakukan intervensi terhadap suatu pertikaian internasional ketika Dewan Keamanan gagal menjalankan fungsinya. Intervensi tersebut nampak sangat signifikan dalam beberapa penyelesaian konflik internasional. Majelis Umum mengeluarkan resolusi Nomor A/ES-10/L/22 dalam kasus inisiasi pemindahan kantor diplomatik AS dari Tel Aviv ke Jerusalem. Status Jerusalem menurut Resolusi PBB adalah “corpus separatum” yang artinya memiliki status khusus di bawah otorisasi PBB. Permasalahan yang akan dikaji adalah terkait pemindahan kantor diplomatik dari Tel Aviv ke Jerusalem oleh AS, Resolusi Majelis Umum terhadap tindakan AS tersebut, serta implikasinya bagi AS menurut Piagam PBB. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji tindakan relokasi kantor diplomatik AS ke Jerusalem, Resolusi MU terhadap AS, dan implikasinya bagi AS menurut Piagam PBB. Tulisan ini menggunakan metode penulisan yuridis normatif. Tindakan AS terhadap Jerusalem telah melanggar prinsip dan tujuan PBB khususnya dalam penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah atas Jerusalem serta melakukan pelanggaran terhadap perdamaian. Resolusi Nomor A/ES-10/L/22 secara prosedur dan substansi telah sesuai dengan ketentuan Piagam PBB. Meskipun resolusi tersebut tidak mengikat dan hanya bersifat rekomendasi, namun dalam praktik senantiasa ditaati dan efektif dalam penyelesaian konflik internasional karena mengandung bobot moral yang bersumber dari pendapat mayoritas anggota PBB. Penyalahgunaan veto di Dewan Keamanan yang mengakibatkan masuknya intervensi Majelis Umum tersebut menjadi suatu isu krusial dalam kerangka Piagam PBB meski pada prinsipnya tidak menghalangi peran Majelis Umum dalam menyelesaikan konflik internasional.

Penulis
No Author
Abstrak
Substansi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) sudah tidak dapat lagi mengantisipasi perkembangan kemajuan teknologi di bidang penyiaran terutama terkait dengan perubahan sistem penyiaran analog menjadi sistem penyiaran digital. Hal ini disebabkan memasuki abad 21 organisasi internasional yang mengatur penyiaran televisi dan radio di seluruh dunia yaitu International Telecommunication Union (ITU) telah menetapkan bahwa tidak akan ada lagi frekuensi analog yang digunakan untuk penyiaran di seluruh dunia. Hal ini memicu persoalan karena di Indonesia belum ada regulasi yang mengatur digitalisasi penyiaran sebab Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran masih mengatur terbatas pada penyiaran analog. Berdasarkan uraian tersebut terdapat permasalahan yaitu apakah urgensi pengaturan migrasi digitalisasi penyiaran di Indonesia dan bagaimanakah pengaturan model migrasi digitalisasi penyiaran yang dapat diterapkan di Indonesia. Adapun tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui urgensi pengaturan migrasi digitalisasi penyiaran di Indonesia dan mengetahui pengaturan model migrasi digitalisasi penyiaran yang dapat diterapkan di Indonesia. Pembahasan dalam tulisan ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan mengkaji substansi dan hukum positif yang menguatkan urgensi pengaturan migrasi digitalisasi penyiaran di Indonesia dan mendapatkan pengaturan model migrasi digitalisasi penyiaran yang dapat diterapkan di Indonesia. Simpulan dari permasalahan ini adalah migrasi digitalisasi penyiaran di Indonesia sudah mendesak untuk dilakukan dan memerlukan kepastian hukum berupa pengaturan dalam undang-undang dan pilihan model pengelolaan migrasi analog ke digital harus berdasarkan pertimbangan kemanfaatan yang maksimal dapat diterima oleh masyarakat.

Penulis
No Author
Abstrak
Konstitusionalitas hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menimbulkan pro dan kontra di kalangan pakar hukum tata negara yang didasarkan pada perbedaan penafsiran terhadap dasar pengaturan hak angket, yaitu Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU tentang MD3) beserta penjelasannya. Pihak yang setuju beranggapan bahwa hak angket merupakan bentuk pengawasan DPR terhadap pelaksanaan undang-undang, sementara pihak kontra beranggapan bahwa hak angket seharusnya ditujukan untuk menyelidiki kebijakan pemerintah saja. Polemik tidak mereda pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/PUU-XV/2017, 37/PUU-XV/2017, dan 40/PUU-XV/2017 yang menolak permohonan Para Pemohon, dengan pendapat berbeda dari 4 (empat) orang hakim MK. Tulisan ini ditujukan untuk mengetahui praktik hak angket di Indonesia selama ini dan perbandingan praktik hak angket di beberapa parlemen negara lain, serta untuk mengetahui konstitusionalitas hak angket. Metode penulisan yuridis normatif dengan spesifikasi penulisan deskriptif analitis. Tulisan ini menyimpulkan bahwa: Pertama, dalam praktik hak angket di Indonesia, KPK bukan satu-satunya lembaga independen di luar eksekutif yang pernah diangket; Kedua, praktik di beberapa parlemen negara lain menunjukkan bahwa hak angket dapat dilakukan untuk pelaksanaan undang-undang dan ditujukan di luar eksekutif; dan Ketiga, hak angket terhadap KPK konstitusional berdasarkan hukum positif, putusan Mahkamah Konstitusi, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, dan prosedur pembentukan Panitia Khusus Hak Angket DPR terhadap KPK (Pansus Hak Angket KPK). Penulis menyarankan agar segera dilakukan revisi terhadap rumusan Pasal 79 ayat (3) UU tentang MD3 dan penjelasannya, agar tidak lagi menimbulkan multitafsir.

Penulis
No Author
Abstrak
Dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan MK) No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memiliki implikasi bertambahnya objek praperadilan salah satunya yakni pemeriksaan sah atau tidaknya penetapan tersangka. Meskipun pemeriksaan terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka telah masuk sebagai objek praperadilan namun masih terdapat persoalan hukum dalam pelaksanaannya. Permasalahan yang coba diangkat dalam tulisan ini yakni terkait prosedur dalam pemeriksaan terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka oleh praperadilan, apakah hakim dapat memeriksa substansi pokok perkara atau hanya memeriksa dalam aspek formil. Tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana reformulasi pengaturan prosedur pemeriksaan sah atau tidaknya penetapan tersangka oleh praperadilan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU tentang HAP) yang akan datang. Penulis dalam menganalisis permasalahan tersebut menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggabungkan teori pengawasan horizontal dalam hukum acara pidana dan teori pembentukan undang-undang. Tulisan ini menyimpulkan bahwa pertama, perluasan kewenangan praperadilan melalui Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 terkait pemeriksaan sah atau tidaknya penetapan tersangka didasarkan pada pertimbangan bahwa penetapan tersangka merupakan salah satu bentuk upaya paksa yang perlu diawasi pelaksanaannya agar tidak melanggar hak asasi tersangka. Kedua, bahwa reformulasi pengaturan kewenangan praperadilan dalam memeriksa sah atau tidak tersangka dititikberatkan pada pengaturan bahwa prosedur pemeriksaan penetapan tersangka tersebut perlu diatur dalam RUU tentang HAP secara jelas dan pasti. Kemudian, hakim dalam memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka selayaknya hanya bersifat administratif dan tidak masuk kepada substansi pokok perkara, hal ini guna menghindari tumpang tindih dengan kewenangan hakim dalam acara pemeriksaan biasa.

Penulis
No Author
Abstrak
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU tentang Tenaga Kesehatan) mengatur mengenai pembentukan hanya satu organisasi profesi yang tertuang dalam Pasal 50 ayat (2). Pasal 50 ayat (2) UU tentang Tenaga Kesehatan mengandung makna bahwa setiap masing-masing kelompok tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi. Dalam pasal tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah pengaturan Pasal 50 ayat (2) UU tentang Tenaga Kesehatan dapat mengurangi hak masing-masing kelompok tenaga kesehatan untuk berserikat dan berkumpul, mengingat adanya pembatasan untuk pembentukan organisasi profesi tenaga kesehatan. Sebagaimana diketahui bahwa hak berserikat dan berkumpul merupakan salah satu hak asasi manusia yang telah dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Dalam penulisan ini mengangkat permasalahan pembentukan satu organisasi profesi sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (2) UU tentang Tenaga Kesehatan dan bagaimanakah pengaturan Pasal 50 UU tentang Tenaga Kesehatan ditinjau dari perspektif konstitusi. Tujuan penulisan adalah mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi pertimbangan dalam Pasal 50 ayat (2) UU tentang Tenaga Kesehatan terkait mengenai hanya satu organisasi profesi dan untuk mengetahui bagaimana Pasal 50 UU tentang Tenaga Kesehatan dalam perspektif konstitusi. Metode penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Pasal 50 UU tentang Tenaga Kesehatan mengatur tentang pembentukan hanya satu organisasi profesi. Hal ini dilatarbelakangi oleh peran dan fungsi dari organisasi profesi, sehingga tidak mengurangi hak seseorang untuk berserikat dan berkumpul.