Produk Pusat Perancangan Undang-Undang

Prodigy Jurnal Perundang-undangan Vol. 9 No. 1, Juli 2021

Penulis
No Author
Abstrak
UU tentang Cipta Kerja yang disusun dengan metode omnibus law banyak mengubah undang-undang termasuk UU tentang Persaingan Usaha. Salah satu substansi yang diubah dalam UU tentang Cipta Kerja yaitu mengenai upaya hukum terhadap Putusan KPPU. Pengaturan mengenai upaya hukum terhadap Putusan KPPU juga diatur dalam PP No. 44 Tahun 2021, PERMA No. 3 Tahun 2019 dan SEMA No. 1 Tahun 2021. Peraturan tersebut masih menimbulkan permasalahan terkait perbedaan pengaturan jangka waktu dalam upaya hukum terhadap Putusan KPPU. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis akan mengkaji mengenai pengaturan upaya hukum terhadap Putusan KPPU serta legalitas pengaturannya ditinjau dari perspektif pembentukan peraturan perundang-undangan. Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan mengkaji bahan hukum kepustakaan atau data sekunder. Pada saat ini, pengaturan mengenai upaya hukum terhadap Putusan KPPU terdapat di beberapa peraturan yaitu UU tentang Cipta Kerja, PP No. 44 Tahun 2021, PERMA No. 3 Tahun 2019, dan SEMA No. 1 tahun 2021. Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai upaya hukum terhadap Putusan KPPU belum mencerminkan asas kejelasan rumusan dan asas ketertiban dan kepastian hukum. Oleh karena itu, pengaturan mengenai jangka waktu dalam upaya hukum terhadap Putusan KPPU perlu diperjelas rumusannya melalui revisi UU tentang Persaingan Usaha. Kata kunci: upaya hukum, putusan kppu, pembentukan peraturan perundang-undangan

Penulis
No Author
Abstrak
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 7 Tahun 2020), merupakan produk hukum yang terbaru dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 24 Tahun 2003). Sebagai undang-undang terbaru perubahan yang ada dalam undang-undang ini diharapkan dapat menyempurnakan kekurangan yang ada selama ini salah satunya yakni mengenai dasar hukum putusan Mahkamah Konstitusi yang bermakna konstitusional bersyarat. Selama ini belum ada dasar kewenangan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menerbitkan putusan semacam itu, maka timbul permasalahan yakni bagaimanakah UU No. 7 Tahun 2020 dapat menjadi dasar hukum pengenaan putusan yang bermakna konstitusional bersyarat, begitu juga bagaimanakah pelaksanaan selama ini, dan bagaimanakah solusi hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk kedepannya. Tujuan tulisan ini untuk mendapatkan jawaban dari sejumlah pertanyaan tersebut karena saat ini Mahkamah Konstitusi masih sering menerbitkan putusan konstitusional bersyarat. Metode penulisan ini adalah yuridis normatif. Penulis mencoba menjawab permasalahan yang ada dengan pendekatan studi kepustakaan. Berdasarkan pembahasan diketahui bahwa UU No. 7 Tahun 2020 masih belum memiliki dasar hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk menerbitkan putusan yang konstitusional bersyarat. Adapun bentuk putusan yang semacam ini pertama kali digunakan dalam Putusan MK Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Untuk solusi kedepannya karena Indonesia menganut sistim civil law maka diperlukan adanya perubahan undang-undang. Untuk itu disimpulkan bahwa karena UU No. 7 Tahun 2020 belum memberikan dasar hukum yang cukup maka perlu kedepannya ada perubahan keempat dari UU No. 24 Tahun 2003. Kata kunci: dasar hukum, civil law, putusan konstitusional bersyarat

Penulis
No Author
Abstrak
Saat ini Komisi PBB untuk Narkotika telah mengambil keputusan mengeluarkan ganja dari golongan IV menjadi golongan 1 dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan medis. Di Indonesia, UU tentang Narkotika ganja masuk dalam golongan 1 yang artinya ganja hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian dan tidak dapat digunakan untuk terapi. Dengan adanya perubahan penggolongan narkotika dalam konvensi tersebut maka bagaimana dengan posisi ganja yang diatur dalam UU tentang Narkotika. Permasalahan dalam penulisan ini yaitu bagaimana perubahan penggolongan narkotika khususnya untuk ganja dari golongan 1V ke golongan I dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 memengaruhi posisi ganja dalam UU tentang Narkotika dan apakah dengan perubahan tersebut UU tentang Narkotika masih sesuai atau tidak dengan kebutuhan hukum dan perkembangan zaman. Tujuan penulisan yaitu untuk mengetahui bagaimana perubahan penggolongan narkotika untuk ganja dalam Konvensi Tunggal Narkotika memengaruhi terhadap penggolongan ganja dalam UU tentang Narkotika dan apakah dengan perubahan penggolongan Narkotika tersebut UU tentang Narkotika masih sesuai atau tidak dengan kebutuhan hukum dan perkembangan zaman. Metode penulisan ini menggunakan metode penulisan yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan kajian pustaka atau literatur sebagai bahan sekunder. UU tentang Narkotika mengatur bahwa perubahan penggolongan narkotika berdasarkan pada kesepakatan internasional dan kepentingan nasional. Kepentingan nasional artinya mempertimbangkan aspek filosofis, sosiologis, yuridis dan karakteristik masyarakat Indonesia. Perubahan penggolongan narkotika dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tidak serta merta memengaruhi penggolongan narkotika untuk ganja dalam UU tentang Narkotika karena harus mempertimbangkan juga dari aspek kepentingan nasional. Jika dilihat dari aspek kepentingan nasional maka UU tentang Narkotika masih sesuai dengan kebutuhan hukum dan perkembangan zaman. Kata kunci: Narkotika, Ganja, Konvensi, UU tentang Narkotika

Penulis
Reny Amir
Abstrak
Mekanisme pembentukan undang-undang harus dilakukan secara transparan agar masyarakat dapat berpartisipasi memberikan masukan dalam suatu permasalahan. Salah satu fungsi DPR RI yaitu fungsi legislasi, membentuk UU. Materi muatan UU yang ditujukan bagi kepentingan masyarakat luas tentu harus membuka masuknya aspirasi masyarakat agar menghasilkan suatu UU yang demokratis, aspiratif, dan partisipatif. Setjen DPR RI sebagai supporting system berfungsi memberikan dukungan pelaksanaan tugas DPR RI dalam menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 72 huruf g UU tentang MD3. Penulisan ini mengangkat permasalahan bagaimana penyerapan aspirasi atau partisipasi masyarakat dalam bidang legislasi di DPR RI dan bagaimana upaya Setjen DPR RI sebagai supporting system mendukung DPR RI melaksanakan tugas menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 72 huruf g UU tentang MD3. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui penyerapan aspirasi atau partisipasi masyarakat dalam bidang legislasi di DPR RI dan upaya Setjen DPR RI mendukung DPR RI melaksanakan tugas menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 72 huruf g UU tentang MD3. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Penyerapan aspirasi/partisipasi masyarakat dalam bidang legislasi di DPR RI dapat dilakukan pada tiga tahap pembentukan UU, yaitu pada tahap penyusunan, pembahasan, dan tahap pelaksanaan UU. Dukungan yang dilakukan Setjen DPR RI dalam pelaksanaan tugas DPR RI sesuai Pasal 72 huruf g UU tentang MD3 yaitu dengan mengoptimalkan layanan penyaluran delegasi masyarakat agar menjadi lebih efektif dan efisien dengan menghadirkan SILUGAS, yaitu program optimalisasi layanan penyaluran delegasi masyarakat berbasis elektronik. Kata kunci: aspirasi masyarakat, legislasi, Sekretariat Jenderal DPR RI

Penulis
Muhammad Hasbi
Abstrak
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada saat ini masih dipergunakan untuk menangani semua persoalan hukum di dunia siber. Perkembangan dunia informasi melalui internet semakin hari semakin canggih termasuk potensi bahaya yang ditimbulkan. Salah satu bahaya yang perlu diwaspadai yakni mengenai adanya potensi terorisme siber. Terkait dengan permasalahan tersebut, tulisan ini menganalisis kegunaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam menangani terorisme siber. Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dalam pembahasan akan diketahui bahwa ternyata begitu luas tantangan ke depan dalam dunia siber ini. Adapun mengenai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebetulnya sudah terdapat sejumlah norma yang dapat digunakan untuk manangani terorisme siber. Hal yang lebih baik adalah bahkan dibentuk undang-undang khusus untuk itu. Pada akhinya disimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk saat ini dengan sejumlah norma yang ada masih mampu untuk menangani terorisme siber. Saran dari tulisan ini yakni perlu ada penguatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk dapat lebih khusus menangani terorisme siber termasuk juga kalau dimungkinkan maka perlu dibentuk undang-undang khusus Kata kunci: terorisme siber, teknologi informasi, transaksi elektronik
Prodigy Jurnal Perundang-undangan Vol. 9 No. 2, Desember 2021

Penulis
No Author
Abstrak
UU tentang Cipta Kerja yang disusun dengan metode omnibus law banyak mengubah undang-undang termasuk UU tentang Persaingan Usaha. Salah satu substansi yang diubah dalam UU tentang Cipta Kerja yaitu mengenai upaya hukum terhadap Putusan KPPU. Pengaturan mengenai upaya hukum terhadap Putusan KPPU juga diatur dalam PP No. 44 Tahun 2021, PERMA No. 3 Tahun 2019 dan SEMA No. 1 Tahun 2021. Peraturan tersebut masih menimbulkan permasalahan terkait perbedaan pengaturan jangka waktu dalam upaya hukum terhadap Putusan KPPU. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis akan mengkaji mengenai pengaturan upaya hukum terhadap Putusan KPPU serta legalitas pengaturannya ditinjau dari perspektif pembentukan peraturan perundang-undangan. Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan mengkaji bahan hukum kepustakaan atau data sekunder. Pada saat ini, pengaturan mengenai upaya hukum terhadap Putusan KPPU terdapat di beberapa peraturan yaitu UU tentang Cipta Kerja, PP No. 44 Tahun 2021, PERMA No. 3 Tahun 2019, dan SEMA No. 1 tahun 2021. Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai upaya hukum terhadap Putusan KPPU belum mencerminkan asas kejelasan rumusan dan asas ketertiban dan kepastian hukum. Oleh karena itu, pengaturan mengenai jangka waktu dalam upaya hukum terhadap Putusan KPPU perlu diperjelas rumusannya melalui revisi UU tentang Persaingan Usaha. Kata kunci: upaya hukum, putusan kppu, pembentukan peraturan perundang-undangan

Penulis
No Author
Abstrak
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 7 Tahun 2020), merupakan produk hukum yang terbaru dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 24 Tahun 2003). Sebagai undang-undang terbaru perubahan yang ada dalam undang-undang ini diharapkan dapat menyempurnakan kekurangan yang ada selama ini salah satunya yakni mengenai dasar hukum putusan Mahkamah Konstitusi yang bermakna konstitusional bersyarat. Selama ini belum ada dasar kewenangan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menerbitkan putusan semacam itu, maka timbul permasalahan yakni bagaimanakah UU No. 7 Tahun 2020 dapat menjadi dasar hukum pengenaan putusan yang bermakna konstitusional bersyarat, begitu juga bagaimanakah pelaksanaan selama ini, dan bagaimanakah solusi hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk kedepannya. Tujuan tulisan ini untuk mendapatkan jawaban dari sejumlah pertanyaan tersebut karena saat ini Mahkamah Konstitusi masih sering menerbitkan putusan konstitusional bersyarat. Metode penulisan ini adalah yuridis normatif. Penulis mencoba menjawab permasalahan yang ada dengan pendekatan studi kepustakaan. Berdasarkan pembahasan diketahui bahwa UU No. 7 Tahun 2020 masih belum memiliki dasar hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk menerbitkan putusan yang konstitusional bersyarat. Adapun bentuk putusan yang semacam ini pertama kali digunakan dalam Putusan MK Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Untuk solusi kedepannya karena Indonesia menganut sistim civil law maka diperlukan adanya perubahan undang-undang. Untuk itu disimpulkan bahwa karena UU No. 7 Tahun 2020 belum memberikan dasar hukum yang cukup maka perlu kedepannya ada perubahan keempat dari UU No. 24 Tahun 2003. Kata kunci: dasar hukum, civil law, putusan konstitusional bersyarat

Penulis
No Author
Abstrak
Saat ini Komisi PBB untuk Narkotika telah mengambil keputusan mengeluarkan ganja dari golongan IV menjadi golongan 1 dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan medis. Di Indonesia, UU tentang Narkotika ganja masuk dalam golongan 1 yang artinya ganja hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian dan tidak dapat digunakan untuk terapi. Dengan adanya perubahan penggolongan narkotika dalam konvensi tersebut maka bagaimana dengan posisi ganja yang diatur dalam UU tentang Narkotika. Permasalahan dalam penulisan ini yaitu bagaimana perubahan penggolongan narkotika khususnya untuk ganja dari golongan 1V ke golongan I dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 memengaruhi posisi ganja dalam UU tentang Narkotika dan apakah dengan perubahan tersebut UU tentang Narkotika masih sesuai atau tidak dengan kebutuhan hukum dan perkembangan zaman. Tujuan penulisan yaitu untuk mengetahui bagaimana perubahan penggolongan narkotika untuk ganja dalam Konvensi Tunggal Narkotika memengaruhi terhadap penggolongan ganja dalam UU tentang Narkotika dan apakah dengan perubahan penggolongan Narkotika tersebut UU tentang Narkotika masih sesuai atau tidak dengan kebutuhan hukum dan perkembangan zaman. Metode penulisan ini menggunakan metode penulisan yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan kajian pustaka atau literatur sebagai bahan sekunder. UU tentang Narkotika mengatur bahwa perubahan penggolongan narkotika berdasarkan pada kesepakatan internasional dan kepentingan nasional. Kepentingan nasional artinya mempertimbangkan aspek filosofis, sosiologis, yuridis dan karakteristik masyarakat Indonesia. Perubahan penggolongan narkotika dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tidak serta merta memengaruhi penggolongan narkotika untuk ganja dalam UU tentang Narkotika karena harus mempertimbangkan juga dari aspek kepentingan nasional. Jika dilihat dari aspek kepentingan nasional maka UU tentang Narkotika masih sesuai dengan kebutuhan hukum dan perkembangan zaman. Kata kunci: Narkotika, Ganja, Konvensi, UU tentang Narkotika

Penulis
No Author
Abstrak
Kebutuhan lapangan kerja baru merupakan keniscayaan untuk memastikan hak bekerja, mendapatkan imbalan, serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagai hak konstitusional setiap warga negara. Pengaturan kluster ketenagakerjaan dalam UU tentang Cipta Kerja merupakan salah satu cara pemerintah membantu dunia usaha dan pekerja. Penulisan ini mengangkat permasalahan bagaimana konsep materi muatan perubahan UU tentang Ketenagakerjaan dalam UU Tentang Cipta Kerja dan apakah perubahan UU tentang Ketenagakerjaan sesuai dengan hakekat hukum ketenagakerjaan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui konsep materi muatan perubahan UU Tentang Ketenagakerjaan dalam UU tentang Cipta Kerja dan perubahan UU tentang Ketenagakerjaan tetap sesuai dengan hakekat hukum ketenagakerjaan atau tidak. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Konsep materi muatan perubahan UU Tentang Ketenagakerjaan dalam UU tentang Cipta Kerja terdiri atas pengubahan, penghapusan, atau penetapan pengaturan baru terhadap beberapa ketentuan yang diatur dalam UU tentang Ketenagakerjaan. Terdapat 68 angka perubahan dengan rincian keseluruhan mengubah 31 pasal, menghapus 29 pasal, dan menyisipkan 13 pasal baru. Benang merah pengaturan tersebut berupa pendelegasian materi muatan, penyesuaian perizinan, dan perubahan secara konsep/esensi pengaturan. Perubahan yang belum sesuai hakekat hukum ketenagakerjaan, diantaranya terkait pengaturan istirahat panjang dan jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu yang diserahkan mekanismenya kepada kesepakatan para pihak. Hal ini menunjukkan berkurangnya peran atau kendali negara terhadap hukum ketenagakerjaan karena hakekat hukum ketenagakerjaan, melindungi pihak yang lemah (pekerja/buruh) dari kekuasaan pengusaha. Setiap rezim pemerintahan memiliki sudut pandang atau perspektifnya dalam memperbaiki dunia ketenagakerjaan karena sulitnya mempertemukan kepentingan pekerja/buruh dan pengusaha secara adil sesuai penafsiran konstitusi dalam mensejahterakan seluruh bangsa Indonesia tidak terkecuali pekerja/buruh dan pengusaha. Kata kunci: arah pengaturan, cipta kerja, ketenagakerjaan

Penulis
No Author
Abstrak
Perkembangan paradigma konsep pemidanaan saat ini telah mengarah kepada paradigma keadilan restoratif (restorative justice). Berkembangnya paradigma keadilan restoratif yang fokus pada kepentingan korban dan pelaku merupakan bentuk respon terhadap paradigma keadilan restitutif dan keadilan retributif yang dinilai belum efektif dan hanya fokus kepada pelaku serta tidak memperhatikan kepentingan korban. Namun demikian pengaturan mengenai penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif masih parsial dan belum diatur dalam undang-undang. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan mendasarkan pada teori tujuan pidana. Perlunya suatu instrumen hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur mengenai penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif didasarkan pada 3 (tiga) hal yaitu, pertama, perlunya terobosan baru mengingat pendekatan restitutif dan keadilan retributif yang dinilai belum efektif. Kedua, masih parsial dan belum komprehensifnya pengaturan penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif. Ketiga, infrastruktur rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan yang tidak layak menampung narapidana. Oleh karena itu perlu pengaturan penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif baik dalam rancangan hukum pidana materil maupun hukum pidana formil yang akan datang. Kata kunci: pemidanaan, keadilan restoratif, keadilan restitutif, dan keadilan retributif