RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisi han Hubungan Industrial
Lembaga
Komisi III DPR RI
Tanggal
2021-03-16
Tahapan
Selesai
Topik
Hubungan Internasional
Tim Penyusun
-
Pengaturan dan mekanisme mengenai penyelesaian perselisihan
hubungan industrial secara normatif telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004), perselisihan hubungan
industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Hubungan industrial pada dasarnya adalah hubungan antara pengusaha
atau perusahaan dengan pekerja atau serikat pekerja. Ketentuan Pasal 2
Undang-Undang Nomor 2004 merinci ada 4 jenis perselisihan hubungan
industrial, yaitu: a) perselisihan hak; b) perselisihan kepentingan; c)
perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan d) Perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Jika terjadi
perselisihan tentunya perlu dilakukan upaya penyelesaian perselisihan
hubungan industrial untuk mengembalikan keharmonisan dalam bekerja.
Terjadinya perselisihan antara buruh/pekerja dan pihak perusahaan
perselisihan dapat terjadi tanpa suatu pelanggaran. Perselisihan
perburuhan juga dapat terjadi sebagai akibat wanprestasi yang dilakukan
oleh pihak buruh atau oleh pihak pengusaha.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
diharapkan dapat mewujudkan hubungan industrial yang harmonis,
dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Berdasarkan
ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, perselisihan
hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu
melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai
mufakat. Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 disebutkan, dalam hal perundingan bipartit gagal,
maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian
melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Lebih lanjut dalam Pasal 4
ayat (3) disebutkan, setelah menerima pencatatan dari salah satu atau
para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati
memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.
Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh. Sedangkan penyelesaian melalui
arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai
kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagai upaya hukum selanjutnya.
Hal ini dikuatkan dengan adanya Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004, yang menyebutkan bahwa PHI bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus : a. di tingkat pertama mengenai perselisihan
hak; b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan
kepentingan; c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan
hubungan kerja; d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
Lembaga
Komisi III DPR RI
Tanggal
2021-03-16
Tahapan
Selesai
Topik
Hubungan Internasional
Tim Penyusun
-
Pada tahun 2025 diperkirakan jumlah lanjut usia di Indonesia akan
mencapai 36 juta jiwa. PBB memprediksi pada tahun 2050 Indonesia akan
masuk dalam 10 besar negara dengan jumlah lanjut usia terbesar. UU No
13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia mengatur lanjut usia
berdasarkan pada charity based. Hal ini tidak sesuai lagi dengan kondisi
dan perkembangan zaman. Dalam UU No 13 Tahun 1998, lanjut usia
hanya sebagai objek pembangunan, perlu adanya perubahan paradigma
sehingga dari objek menjadi subjek yang berperan serta mengambil
keputusan apa yang menjadi kebutuhan lanjut usia. Dengan berubahnya
dinamika dan transisi dari pelayanan menjadi penanganan maka, K/L dan
masyarakat harus terlibat dalam penanganan kesejahteraan lanjut usia.
Penanganan pada lanjut usia tidak dititikberatkan pada bidang ekonomi
saja tetapi melalui peningkatan pemberdayaan, yakni upaya
meningkatkan kemampuan fisik, mental, spiritual, sosial, ekonomi,
pengetahuan, pendidikan, dan keterampilan agar lanjut usia dapat
mengoptimalkan potensi dan kemampuannya. Perlu adanya pembagian
kewenangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, terkait
penanganan lanjut usia. Di dalam pengaturan yang baru maka,
penanganan lanjut usia tidak hanya dititikberatkan kepada usia lanjut
tetapi mempersiapkan seseorang dari awal untuk menjadi lanjut usia
yang mandiri, sejahtera, dan bermartabat.
RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisi han Hubungan Industrial
Pengaturan dan mekanisme mengenai penyelesaian perselisihan
hubungan industrial secara normatif telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Ind...