Naskah Akademik RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia
Lembaga
Komisi III DPR RI
Tanggal
2019-10-22
Tahapan
Selesai
Topik
Hubungan Internasional
Tim Penyusun
-
Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan serta
menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh
warga negara sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilakukan
peningkatan pengawasan pelayanan publik oleh
Ombudsman Republik Indonesia. Peningkatan pengawasan
pelayanan publik oleh Ombudsman dilakukan dengan cara
pembentukan Undang-Undang tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia. Untuk meningkatkan
kualitas pengawasan pelayanan publik dan optimalisasi
pelaksanaan fungsi dan kewenangan Ombudsman, maka
sangat penting untuk melakukan penyempurnaan materi
muatan dalam UU tentang Ombudsman, meliputi:
Pengakuan Kedudukan sebagai lembaga negara yang belum
diikuti pengakuan kedudukan anggota Ombudsman sebagai
pejabat negara di dalam UU tentang Ombudsman yang
berpengaruh pada prinsip keseimbangan/kesamaan
kedudukan pada saat berkoordinasi dengan lembaga
negara yang lain; Pengaturan yang lebih komprehensif
mengenai susunan organisasi dan tata kerja Ombudsman
dari pusat hingga daerah; enambahan tugas dan fungsi
Ombudsman untuk melakukan investigasi atas prakarsa
sendiri sebagai wujud pengawasan atas pelayanan publik;
Ketaatan atas rekomendasi Ombudsman yang memerlukan
norma di dalam UU tentang Ombudsman agar instansi
pelaksana mau mematuhi rekomendasi Ombudsman; dan
Pengaturan tentang manajemen sumber daya manusia di
Ombudsman, khususnya mengenai tugas, fungsi, dan
status kepegawaian asisten Ombudsman.
NA RUU Hubungan Luar Negeri
Lembaga
Komisi III DPR RI
Tanggal
2019-08-21
Tahapan
Selesai
Topik
Hubungan Internasional
Tim Penyusun
-
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999
tentang Hubungan Luar Negeri (UU tentang Hubungan Luar
Negeri), salah satu dasar pelaksanaan hubungan luar negeri
dan politik luar negeri adalah Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN). Sementara melalui amendemen Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI Tahun 1945) di mana terjadi perubahan peran
MPR dan Presiden, GBHN tidak berlaku lagi. Sehingga
terjadi kekosongan hukum dalam Pasal 2 UU tentang
Hubungan Luar Negeri dalam hal keberlakuan GBHN.
Selain itu dengan berkembangnya otonomi daerah dan
pemerintah daerah mulai banyak melakukan kerjasama luar
negeri dengan pemerintah atau instansi/lembaga asing,
perlu dipertimbangkan apakah diperlukan pemberian full
powers/ surat kuasa penuh bagi pemerintah daerah dalam
melaksanakan kerjasama luar negeri tersebut, atau tetap
melalui persetujuan pusat dalam hal ini Menteri Luar
Negeri. Kewenangan pemerintah daerah saat ini dibatasi
oleh dua kementerian yaitu Kementerian Luar Negeri
melalui Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 3 Tahun 2019
tentang Panduan Umum Hubungan Luar Negeri oleh
Pemerintah Daerah. Selain itu diatur oleh Kementerian
Dalam Negeri melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 74 Tahun 2012 tentang Pedoman Kerjasama
Pemerintah Daerah dengan Badan Swasta Asing.
Permasalahan lain yang terdapat dalam UU tentang
Hubungan Luar Negeri yaitu mengenai pengungsi dan
pencari suaka. Dalam pelaksanaan pemberian suaka dan
masalah pengungsi perlu mengikutsertakan peran
pemerintah daerah sebagai daerah tempatan pengungsi
sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2016 tentang
Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Dalam RUU
perubahan/penggantian ini perlu dipertimbangkan dampak
aspek beban dan keuangan negara apabila pemberian
suaka dan masalah pengungsi ini tetap diatur dalam UU
tentang Hubungan Luar Negeri, mengingat Indonesia bukan
sebagai pihak dalam The 1951 Refugee Convention. Namun
atas dasar kemanusiaan Indonesia bersedia menjadi negara
transit. Politik hukum terhadap pemberian suaka dan
masalah pengungsi perlu ditinjau kembali.
Globalisasi yang didukung kemajuan teknologi informasi
dan komunikasi saat ini memunculkan jalur-jalur diplomasi
dalam hubungan luar negeri (multi-track diplomacy).
Semakin banyak substansi baru yang perlu dikaji dan diatur
dalam UU tentang Hubungan Luar Negeri, antara lain
seperti batasan perjanjian internasional, diplomasi ekonomi,
peran Indonesia sebagai mediator konflik, peran Indonesia
sebagai poros maritim (kelautan), peran diplomasi parlemen
(Dewan Perwakilan Rakyat), isu paspor diplomatik, peran
daerah otonomi khusus dan daerah istimewa dalam
hubungan luar negeri, dan lain sebagainya.
Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, dapat dilihat masih
banyak kekurangan dalam UU tentang Hubungan Luar
Negeri yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan
hubungan internasional dan kebutuhan hukum masyarakat.
Oleh karena itu maka perlu dilakukan kajian yang lebih
mendalam dengan tujuan dapat menyusun rancangan
undang-undang tentang perubahan/penggantian Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri.
Naskah Akademik RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia
Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan serta
menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh
warga negara sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 per...